Kamis, 05 Maret 2009

Mencari Penawar Racun Ledakan Penduduk

Oleh Nuruzzaman Amin*

Angka kelahiran di Indonesia meningkat hingga 1,3 persen atau setara dengan tiga juta bayi per tahun. Dikhawatirkan, pertumbuhan sepesat ini akan menimbulkan banyak masalah kependudukan. Pertumbuhan penduduk ini membuat Indonesia terancam mengalami ledakan penduduk. Guna menghindari aneka masalah di masa mendatang, pemerintah kembali menggalakkan program keluarga berencana (KB).

Wacana KB kembali muncul akhir-akhir ini setelah pertumbuhan penduduk mengalami peningkatan begitu besar. Kalau jumlah bayi dalam satu tahun mencapai 3 juta jiwa, maka dalam 10 tahun ke depan, jumlah penduduk akan mengalami peningkatan sekitar 2,6 – 3 % pertahun. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 1961 tercatat 97,08 juta jiwa dan pada tahun 2007 sebanyak 224,90 juta. Dalam masa 46 tahun jumlahnya menjadi tiga kali lipat. Seandainya tidak ada penurunan angka pertumbuhan penduduk 2,1 persen (1961-1971) yang naik menjadi 2,32 persen (1971-1980) dan kemudian turun menjadi 1,34 persen (2000-2005), maka jumlah penduduk Indonesia tahun 2007 jauh lebih besar lagi 225 juta jiwa.

Overloading jumlah penduduk yang tidak diantisipasi dengan baik oleh pemerintah akan berdampak konflik sosial. Dalam hal ekonomi misalnya, peningkatan jumlah penduduk memiliki dampak, meningkatnya permintaan terhadap lapangan pekerjaan. Minimnya lapangan kerja plus semakin bertambahnya dampak dari krisis keuangan global, semakin menambah jumlah pengangguran. Pemenuhan kebutuhan hidup semakin sulit karena hampir semua kebutuhan pokok semakin susah untuk dijangkau oleh masyarakat.

Menurut Thomas Robert Malthus pertambahan jumlah penduduk adalah seperti deret ukur (1, 2, 4, 8, 16, …), sedangkan pertambahan jumlah produksi makanan adalah bagaikan deret hitung (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, …). Hal ini tentu saja akan sangat mengkhawatirkan di masa depan di mana kita akan mengalami krisis pangan.

Apabila penduduk suatu daerah berkemampuan untuk menghasilkan barang dan jasa, dalam jumlah yang lebih banyak dan mutu yang lebih baik, maka dua permasalahan tadi menjadi keunggulan. Disatu sisi potensi berproduksi dan pada saat yang sama berpotensi menjadi pasar. Karena kuncinya ialah kemampuan, maka yang menjadi lebih penting dilakukan ialah meningkatkan kemampuan atau kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Sampai disini permasalahan berubah, yakni perlu dana untuk meningkatkan kualitas (SDM). Perlu kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, dan terus diusahakan semakin berkualitas. Untuk menyediakan pendidikan dan kesehatan yang lebih banyak dan baik dibutuhkan dana yang kian banyak.

Oleh karena pendidikan dan kesehatan merupakan jasa publik yang mahal, maka harus disediakan oleh pemerintah. Negara atau pemerintah yang tingkat kemampuan penduduknya masih rendah biasanya tergolong miskin sehingga rakyat tidak mempunyai kemampuan membayar pajak. Dengan demikian, kemampuan pemerintah menyediakan jasa kesehatan dan pendidikan otomatis juga rendah. Maka, jumlah yang banyak dan pertumbuhan penduduk yang tinggi menjadi masalah yang semakin serius.

Beberapa hal yang sekiranya dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengimbangi pertambahan jumlah penduduk, Pertama, Penambahan dan penciptaan lapangan kerja. Dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat maka diharapkan hilangnya kepercayaan banyak anak banyak rejeki. Di samping itu pula diharapkan akan meningkatkan tingkat pendidikan yang akan merubah pola pikir dalam bidang kependudukan. Kedua, Meningkatkan kesadaran dan pendidikan kependudukan. Dengan semakin sadar akan dampak dan efek dari laju pertumbuhan yang tidak terkontrol, maka diharapkan masyarakat umum secara sukarela turut mensukseskan gerakan keluarga berencana. Ketiga, Mengurangi kepadatan penduduk dengan program transmigrasi. Dengan menyebar penduduk pada daerah-daerah yang memiliki kepadatan penduduk rendah diharapkan mampu menekan laju pengangguran akibat tidak sepadan antara jumlah penduduk dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Keempat, Meningkatkan produksi dan pencarian sumber makanan. Hal ini untuk mengimbangi jangan sampai persediaan bahan pangan tidak diikuti dengan laju pertumbuhan. Setiap daerah diharapkan mengusahakan swasembada pangan agar tidak ada ketergantungan dengan daerah lainnya.

Kebijakan Daerah Pro Kependudukan

Sebagaimana diketahui kewenangan program KB telah diserahkan oleh Pemerintah pusat kepada Kabupaten dan Kota seluruh Indonesia. Dalam menyikapi urusan KB yang telah diserahkan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah, sebagian besar menganggap urusan KB bukan hal utama dan dianggap sebagai pemborosan dan tidak menambah penghasilan buat daerah. Lembaga yang mengelola program KB didaerah dimerger dengan lembaga lainnya dan label yang digunakan beraneka ragam. Program KB bukan lagi menjadi prioritas dalam kebijakan kependudukan, khususnya dalam penurunan fertilitas dan pertumbuhan penduduk.

Dalam periode anggaran tahun 2009, sudah saatnya Program KB menjadi prioritas di semua daerah Kabupaten dan Kota. Selain memberikan porsi utama dinas kependudukan daerah, hal lain yang harus dijadikan ukuran kebijakan daerah adalah Pertama, meningkatkan jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan dan penyediaan pendidikan untuk meningkatkan kemampuan SDM. Kedua, pengendalian angka pertumbuhan penduduk seperti yang diproyeksikan untuk periode 2005-2010 (1,20%) dan 2010-2020 (1,05%). Ketiga, meningkatkan jumlah dan mutu infrastruktur agar akses masyarakat terhadap sumber daya ekonomi semakin membaik.

Upaya ini merupakan wujud komitmen pemerintah daerah dalam mendukung program kependudukan agar problem kependudukan bisa teratasi dengan efektif. Di lain sisi, pemerintah pusat harus mengambil keputusan politik dan melakukannya dengan konsekuensi melalui kebijakan anggaran belanja negara dan juga anggaran belanja daerah.
Selengkapnya...

Rabu, 04 Maret 2009

Meningkatkan Peran Ibu


Dalam Agama Islam dikenal patokan bahwa sejauh menyangkut ibadah, semuanya dilarang kecuali yang diperintahkan. Sejauh menyangkut muamalah semuanya boleh kecuali yang dilarang. Salah satu pesan penting dari patokan itu ialah untuk membentuk keluarga sejahtera, kepekaan susila dan ketangguhan moral saja belum cukup. Karena itu perlu membangun kepekaan sosial dan intelektual. Tujuan dari pendekatan komprehensif tersebut ialah selain etik dan moral anggota keluarga kita kokoh, mereka pun dapat memilih dan menawarkan pilihan-pilihan cerdas untuk kemajuan bersama. Untuk itu kaum IBU dituntut agar mereka semakin cerdas. Bagaimana Peran IBU dalam pembentukan keluarga sejahtera di Indonesia?

Sejak tiga dasa warsa terakhir peran IBU dalam kehidupan keluarga mengalami kemajuan pesat. Dorongan utamanya adalah tuntutan ekonomi. Keluarga tidak bisa lagi mengandalkan para bapak untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara memadai. Untuk itu, para IBU terpanggil untuk berperan, mengambil alih peran bapak yang tak mampu mencukupi.

Sementara, posisi IBU dalam rumah tangga juga mengalami perubahan, bahkan dengan cara drastis dan radikal. Wewenang dan wibawa para ibu menanjak dalam keluarga. Mereka turut memutuskan apa saja yang selama ini dipegang kaum bapak. Disamping itu, pergeseran dalam kemampuan intelektual, khususnya tingkat pendidikan kaum perempuan merupakan salah satu kunci perkembangan sekaligus masalah baru dalam keluarga. Emansipasi dalam kehidupan sosial juga turut menentukan hubungan harmonisasi antara bapak dan ibu serta anak-anak di rumah.

Dengan demikian, keluarga harus “dimanage” dengan cara yang lebih demokratis, bukan otoriter. Karena alasan atau reasoning tidak lagi dimonopoli oleh para bapak. Semua anggota keluarga mempunyai referensi yang hampir sama secara intelektual. Pemecahan masalah dalam rumah tangga, konkurensi wibawa, aset sosial ekonomi, seksual dan intelektual semacamnya tidak lagi bisa dipecahkan dengan cara- cara di masa lalu.
Peran dan tanggung jawab.

Peran dan tanggung jawab IBU dalam membentuk keluarga sejahtera, sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari peran dan tanggung jawab kaum bapak. Tidak dapat dikatakan yang satu dominan dan lebih menentukan, sedang yang lain sekedar pelengkap. Keduanya saling melengkapi dan saling mendukung. Para IBU dan para BAPAK, katakanlah ibu dan ayah adalah team work dalam membentuk Keluarga Sejahtera.

Membentuk Keluarga Sejahtera pada dasarnya adalah menggerakkan proses dan fungsi manajemen dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, selain tugas-tugas kodrati (mengandung dan menyusui) segala sesuatu yang berhubungan dengan membentuk Keluarga Sejahtera haruslah elastis, terbuka dan demokratis. Ibu dan ayah bisa saja bersepakat, misalnya menentukan siapa yang mengerjakan apa, hal-hal yang diputuskan sendiri dan lebih baik diputuskan bersama. Dalam manajemen hal demikian disebut membangun “shared values”. Segala sesuatu ditempatkan pada proporsi yang tepat. Tugas pokok bisa berbeda, tetapi tujuan dan acuan nilainya sama.

Tingkat pendidikan.

Tingkat pendidikan kaum IBU relatif bertambah tinggi. Hal tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi terbukanya peluang dan kesempatan untuk tampil ke depan, melepaskan diri dari kasus-kasus perlakuan diskriminasi seperti pelecehan hak, isu gender dan sebagainya. Kondisi umum tersebut dimungkinkan oleh beberapa faktor dominan. Kesemuanya langsung atau tidak langsung memberi dampak kuantitatif bagi peran ibu dalam meningkatkan tahapan Keluarga Sejahtera. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah:

Pertama, semakin menyebarnya kegiatan pendidikan, serta relatif telah bertambah tingginya pendidikan rata-rata penduduk. Memang tidak selalu semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin berhasil pula dalam membangun Keluarga Sejahtera. Artinya Keluarga Sejahtera berkualitas tidak identik atau ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat pendidikan. Tetapi dapat dikatakan IBU yang terdidik pastilah memiliki kelebihan adaptif tertentu. Kesempatan dan pendidikan masyarakat sudah semakin luas. Persepsi masyarakat tentang potensi kaum IBU-pun relatif telah terbuka. Apalagi sejak munculnya berbagai sekolah kejuruan maupun pelatihan khusus yang sengaja dirancang sebagai wahana aktualisasi potensi intelektual dan potensi kreatif kaum IBU. Selain itu pendidikan dan pelatihan-pelatihan khusus juga mempercepat proses keterbukaan dan dinamisasi nilai-nilai kultural masyarakat. Termasuk yang secara historis telah melekat dalam persepsi kaum IBU sendiri. Sebagai suatu proses budaya, pendidikan dan pelatihan khusus tersebut justru amat diperlukan dalam kerangka pembangunan nasional dan peningkatan SDM Indonesia. Pemerintah kita berkepentingan mempercepat lahirnya tatanan masyarakat yang lebih egalitarian, demokratis, emansipatif dan partisipatif.

Kedua, perubahan persepsi dikotomis masyarakat kita tentang pekerjaan. Polarisasi atas dasar jenis kelamin (gender) di lingkungan pekerjaan dan profesi umumnya tidak populer. Tuntutan dan logika kemajuan zaman menyebabkan proses rekrutmen, promosi dan pengangkatan dalam profesi, sekarang ini lebih berorientasi pada kualitatif. Dalam pengertian bahwa pertimbangan terpenting ialah kapasitas, kesempatan dan kemampuan riil seseorang. Pekerjaan-pekerjaan di lingkungan pegawai negeri, di perusahaan, sektor swasta, umumnya dikelola dalam sistem jaringan kerja profesional, sehingga pendekatan obyektif dan rasional semakin mengemuka.

Ketiga, kemajuan teknologi termasuk faktor dominan bagi meluasnya peluang dan kesempatan kaum IBU. Tidak bisa dipungkiri kemajuan teknologi ke rumah tanggaan, teknologi perkantoran, telkom dan transformasi semakin memperlancar proses kehidupan sosial.

Sampai pada dekade 70-an, usia produktif wanita di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, umumnya habis dimanfaatkan untuk melahirkan dan mengasuh anak. Kini teknologi kontrasepsi, adanya Gerakan KB Nasional, ditambah kesadaran untuk lebih mementingkan kualitas hidup, pasangan usia subur (PUS) bisa mengatur jarak kehamilan. Kehamilan dapat dideteksi, jabang bayi dalam kandungan dapat dijaga serta proses melahirkan lebih nyaman dan aman.

Kemajuan dan inovasi teknologi, kini berlangsung dalam tempo yang semakin tinggi. Hal ini mengilhami perubahan dan inovasi sosial. Masalahnya kemajuan dan inovasi tersebut kadang tidak mendukung terbentuknya keluarga sejahtera. Dan keluarga diharapkan mampu mengelola konsekuensi dari perubahan dan inovasi teknologi itu.

Ke-empat sebagai resultansi dari faktor di atas, ialah meluas dan melebarnya perbandingan masyarakat, khususnya kaum IBU. Termasuk ukuran-ukuran keberhasilan, kemajuan dan penghargaan. Ukuran masyarakat tentang status sosial, kini tidak lagi sekedar mengacu pada latar belakang asal usul. Siapapun yang mampu melahirkan kerja-kerja prestatif untuk kemaslahatan lingkungan masyarakatnya, dia-lah yang cenderung paling dihargai.
Kecerdasan dan Kepekaan.

Dalam kaitan peran dan tanggungjawab membentuk keluarga sejahtera, manajemen rumah tangga tidak boleh kaku dan tertutup. Kita harus elastis dan mau membuka diri dari kemungkinan masuknya pengaruh positif dari luar. Bahkan dari anak-anak kita, dari murid-murid kita atau tetangga kita. Kitapun perlu memfasilitasi anggota keluarga. Kepekaan kaum BAPAK pun perlu diperlihatkan melalui support, misalnya jika wanita atau isteri dalam suatu keluarga mampu, mau dan berbahagia bekerja di luar rumah, mestinya mereka mendapat dukungan.

Jika kondisi keluarga mengharuskan lebih banyak mengurus keperluan anak-anak, mengelola kebutuhan keluarga sesungguhnya itu adalah karir dan sikap wanita modern. Pilihan dan kesempatan tersebut patut disyukuri karena akan menempatkan posisi kaum IBU pada derajat yang tinggi.

Kita harus memahami apa yang paling dibutuhkan seluruh anggota keluarga. Bahkan kita harus mengerti potensi dan karakter anak-anak kita, agar proses sosialisasinya tidak salah kaprah. Kecerdasan dan kepekaan kaum IBU di sini bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi keharmonisan keluarga dan kemajuan masyarakat.

Kecerdasan dan kepekaan juga diperlukan untuk menjalankan dan mengefektifkan delapan fungsi keluarga yaitu:
1.Fungsi Keagamaan;
2. Fungsi Cinta kasih;
3.Fungsi Reproduksi;
4.Fungsi Perlindungan;
5 Fungsi Sosial Budaya;
6. Fungsi sosialisasi dan pdndidikan;
7 Fungsi ekonomi; dan
8. Fungsi Pelestarian Lingkungan.

Menjalankan dan mengefektifkan delapan fungsi keluarga akan memperjelas arah dan tujuan terbentuknya keluarga sejahtera yang berkualitas. Karena delapan fungsi keluarga merupakan esensi berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Semakin jelas bahwa peran IBU dalam membentuk keluarga sejahtera, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Peran dan tanggungjawab tersebut adalah bagian yang tidak terpisahkan dari peran dan tanggung jawab kaum bapak, keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Khusus untuk kaum IBU kiranya perlu perlakuan khusus dari kaum bapak, agar kaun IBU atau isteri selalu tampil energik, sehat, cerdas dan bergirah. Salah satunya adalah menerapkan konsep Keluarga (kecil) Bahagia Sejahtera, agar isteri banyak memiliki kesempatan untuk mengurus dan mengatur diri, keluarga, serta berperan aktif dalam masyarakat.
Selengkapnya...

Senin, 02 Maret 2009

Potret Suram Perempuan Indonesia

Bila kaum perempuan diberi dukungan dan kesempatan dalam mengejar ketertinggalannya, baik di sektor publik (ekonomi, hukum, ekonomi dan sosial) maupun di sektor domestik (keluarga), niscaya Indonesia menjadi terdepan.


Hidup di negeri berpenduduk kurang lebih 230 juta jiwa, dengan keindahan alam sekitar 17 ribu pulau, adalah sebuah kenikmatan. Seharusnya demikian. Namun tidak untuk sebagian besar perempuan Indonesia. Pasalnya, mereka masih hidup dalam kondisi memprihatinkan. Simak saja, saat ini sedikitnya 50 persen perempuan didera anemia, dan 18 persen kekurangan energi kalori. Kondisi buruk ini diperparah lagi oleh tingginya angka kematian ibu akibat hamil dan melahirkan. Kasusnya tertinggi di ASEAN. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan Angka Kematian Ibu hamil dan melahirkan “menakjubkan”, mencapai 340 per 100.000 kelahiran hidup saat ini.


Di sektor pendidikan, perempuan juga terpinggirkan. Menurut data statistik BPS 1999-2000, 54 persen perempuan Indonesia hanya lulusan SD ke bawah, 19 persen lulusan SLTP dan 27 persen lulusan SLTA, dari penduduk usia 10-44 tahun dan 45 ke atas. Angka buta huruf perempuan lebih tinggi dari laki-laki, yakni 3.816.681 perempuan dan 2.138.781 laki-laki. Sementara, angka partisipasi di SLTP: perempuan 87,07 persen, laki-laki 89 persen, dan SLTA: perempuan 61 persen, sedangkan laki-laki 68 persen.


Pada 2001, jumlah perempuan yang mengantongi ijazah SLTA dilaporkan hanya 4,13 persen sementara laki-laki sekitar 16 persen. Jumlah ini semakin mengerucut untuk perempuan yang lulus diploma (DII dan DIII) dengan perbandingan perempuan 1,42 persen, laki-laki 1,53 persen; sarjana (S1-S3) dengan perbandingan perempuan 1,40 persen dan laki-laki 2,27 persen. Selebihnya adalah perempuan yang hanya mengantongi ijazah SD, SLTP atau sama sekali tak memiliki ijazah, alias putus sekolah di tingkat sekolah dasar atau sama sekali tak bersekolah.


Di bidang ekonomi, perempuan selalu menjadi korban dari setiap perubahan ekonomi. Keterpurukan ekonomi telah membawa perempuan dalam perjuangan untuk terus menghidupi keluarga. Saat ini, angka partisipasi angkatan kerja perempuan hanya 51 persen, jauh di bawah laki-laki yang mencapai 86 persen. Sebagian besar perempuan bekerja di sektor informal, sesuatu yang kebalikannya dengan pria. Dalam pengupahan, pria menerima upah 100 persen, sementara perempuan hanya 60 persen.


Hasil Survey Sosial dan Ekonomi (Badan Pusat Statistik), hampir 50 persen perempuan di pedesaan bekerja sebagai pekerja keluarga yang tak dibayar. Angka dan fakta tersebut menunjukkan, bahwa perempuan hanya dimanfaatkan sebagai sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pasar demi kepentingan ekonomi negara, dan bukan untuk kepentingan perempuan.


Bukan Cuma itu. Dalam penanganan perdagangan perempuan, Indonesia justru mendapat stempel dunia internasional sebagai salah satu negara terburuk dalam menangani perdagangan perempuan. Betapa tidak, jumlah perempuan dan anak yang diperdagangkan diperkirakan mencapai 700 ribu hingga satu juta orang per tahun (Global Watch Against Child Labour, 2002).
Human Development Index--HDI Indonesia juga mencerminkan 'buruk muka' negeri ini. Betapa tidak, dari laporan United Nation Development Program (UNDP) tentang keberhasilan pembangunan manusia yang diukur dengan HDI (Index Pembangunan Manusia), Indonesia ternyata berada pada urutan terpuruk dari 175 negara yang disurvei, yakni ke 112 (pada 2002).


Sementara angka yang menunjukkan ketidaksetaraan pembangunan, kesehatan dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan, yakni Gender Related Development Index--GDI, memperingkat Indonesia pada urutan ke-112 dari hampir 200 negara pada 2001 dengan nilai 1.
Semua kondisi ini tentu saja mendudukan posisi perempuan Indonesia demikian memprihatinkan. Padahal di masa krisis, perempuan telah memberikan kontribusi besar melalui usaha kecil, menengah dan sektor informal. Walau kontribusinya besar, perhatian untuk mereka tetap saja terbatas. Alhasil, wajah perempuan Indonesia dewasa ini masih 'buram'.
Selengkapnya...

Jumat, 13 Februari 2009

KOMITMEN DAN PERAN LKKNU TERHADAP UPAYA PENINGKATAN KUALITAS KELUARGA MELALUI PROGRAM KB NASIONAL

Oleh Drs. Otong Abdurrahman

Ketua PPLKKNU

Latar Belakang

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyah (organisasi) adalah wadah bagi para ulama dan pengikut-pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab 1344/31 Januari 1926 dengan tujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja) sebuah pola nalar dalam Islam yang merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, serta Sunnah Khulafaur Rasyidun, menganut konsep teologis Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Almaturidi. Tujuan NU, dalam fiqh menegakkan ajaran Islam menurut faham Aswaja dan menganut salah satu madzhab empat, yaitu Imam Malik bin Annas, Imam Abu Hanifah bin Nukman, Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal di tengah-tengah kehidupan masyarakat di dalam wadah NKRI.

Tujuan lain dari NU adalah untuk mempersatukan langkah-langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya dalam melakukan kegiatan yang sifatnya menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia.

Menurut Al-Ghazali, Ulama memiliki ciri-ciri: intrinsik sebagai identitasnya. Faqih fii mashalihil khalqi: faham benar dan memiliki kepekaan terhadap kemaslahatan makhluk, makhluk bukan hanya manusia. Ulama bertanggungjawab menghindarkan mafsadat (kerusakan) dalam bentuk apapun yang mengganggu terwujudnya kemaslahatan umat. Apalagi kemafsadatan itu menggangu dan ada kaitannya dengan Agama, maka dalam kontek ini ulama selalu menjadi titik sentral masyarakat dan lingkungannya, menjadi rujukan dalam segala hal, ibadah, duniawy, sampai masalah pribadi rumah tangga.

Visi NU

NU sebgai wadah tatanan masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, dan demokratis atas dasar Islam Ahlussunnah Waljama’ah.

Misi NU

Mewujudkan masyarakat yang sejahtera lahiriah maupun batiniah, dengan mengupayakan sistem perundang-undangan dan mempengaruhi kebijakan yang menjamin terwujudnya tata kehidupan masyarakat yang sejahtera.

Mewujudkan masyarkat yang berkeadilan dengan melakukan upaya pemberdayaan dan advokasi masyarakat.

Mewujudkan masyarkat yang demokratis dan berakhlaqul karimah.

Jaringan NU

NU memiliki 30 Wilayah (provinsi), 339 cabang (kota/kabupaten), 12 cabang istimewa, (2.630 Majelis Wakil Cabang (MWC-kecamatan), dan 37.125 ranting (desa/kelurahan).

Program NU

Pengembangan program berada dalam kerangka Khittah NU 1926 Qonun Asasi, yang melandaskan diri pada nilai kebersamaan, persamaan, toleransi (menghargai perbedaan), dan keadilan.

Untuk mewujudkan Visi dan Missinya itu, program NU (2004-2009) adalah sebagai berikut:

Pemberdayaan Organisasi (institusional Building)

Penerapan Teknologi Informasi

Pemberdayaan Ekonomi Umat

Penataan dan Peningkatan Kualitas Pendidikan

Pelayanan Sosial, Kesehatan, Tenaga Kerja dan Buruh.

Pembangunan Jaringan Kerja Nasional dan Internasional

Pemberdayaan Hukum dan Keadilan

Pemberdayaan poitik warga

Pengembangan Dakwah dan Pemikiran Keagamaan

Mobilisasi Dana dan pengelolaannya.

LKKNU

Kaitannya dengan usaha peningkatan kualitas hidup keluarga dan kualitas masyarakat yang maslahah, maka NU mengamanatkan kepada LKKNU (Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU) yang didirikan pada 7 Desember 1977, pada muktamar NU 2004, untuk melaksanakan kebijakan PBNU (Pengurus Besar NU) di bidang kesejahteraan keluarga, sosial dan kependudukan.

Tujuan LKKNU

LKKNU bertujuan memberikan bimbingan dan pembinaan keluarga dan masyarkat agar memiliki pengertian, kesadaran dan sikap yang bertanggungjawab terhadap eratnya hubungan antara keluarga maslahah dengan aspek kehidupan manusia secara menyeluruh, hal ini meliputi bidang agama, sosial ekonomi, kesehatan, kependudukan, lingkungan hidup, serta pembangunan bangsa.

Keluarga Maslahah

Keluarga sejahtera atau keluarga sakinah, di lingkungan NU dikenal dengan istilah keluarga maslahah, yaitu suatu konsep yang berorientasi pada proses tumbuh dan mekarnya kebaikan dalam keluarga. Keluarga yang hendak diwujudkan berdasar pada unsur-unsur, suami yang baik (sholeh), isteri yang baik (sholehah), anak-anak yang baik (abror), dalam pengertian yang berkualitas, berakhalakul karimah, sehat rohani, dan jasmani, berkecukupan rizki (pangan sandang dan papan), serta memiliki lingkungan yang baik pula.

Konsep Maslahah diambil dari 5 (lima) prinsip asasi (mabadi’). Qoidah fikih menegaskan bahwa penyelenggaraan hidup yang baik itu harus didasarkan pada terlindunginya 5 (lima) macam kebutuhan dasar (Ushul al-khams) bagi kehidupan manusia, yaitu:

Pertama, Hifdz al-Diin, merupakan jaminan seseorang untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Kedua, Hifdz al Nafs, jaminan terhadap jiwa (kehidupan) manusia. Ketiaga, Hifdz al-Mal, jaminan terhadap harta benda. Keempat, Hifdz al-Aql, penghargaan dan jaminan terhadap ide, opini dan pemikiran seseorang, dan Kelima, Hifdz al-’Irdl wa al-Nasl, jaminan terhadap kehormatan dan keturunan manusia.

Terciptanya jaminan perlindungan keselamatan 5 kebutuhan dasar itu merupakan perwujudan kemulyaan /kehormatan manusia (karomatul insan) dan martabat kemanusiaannya, karenanya segala macam daya upaya yang menyebabkan terwujudnya 5 kebutuhan dasar itu selanjutnya disebut Al-Maslahah. Sebaliknya segala macam daya dan upaya yang menyebabkan terganggunya atau hilangnya 5 dasar tadi maka disebut Al-Mafsadah (kerusakan). Demikian juga segala macam daya dan upaya untuk menghindarkan kerusakan disebut Al-maslahah.

Sasaran Program

Sasaran implementasi program pokok LKKNU adalah pondok-pondok pesantren di daerah pedesaan (rural society), lembaga-lembaga pendidikan, RS/RB/BKIA/Poliklinik di lingkungan NU, dan institusi di bawah payung NU sebagai media penggerak utama KIE.

Kependudukan/KB di Lingkungan NU

NU berkepentingan dalam mensukseskan program kependudukan karena:

Sejalan dengan usaha meningkatkan kualitas manusia (dalam garis hablumminnaas dan hablum minalloh.

Pelaksanaan Keluarga Berencana sejalan dengan usaha untuk mencapai dan meningkatkan kualitas keluarga sebagai bentuk persekutuan masyarakat terkecil, dan sebagai sendi utama terwujudnya kemaslahatan (kesejahteraan) masyarakat.

Pencerminan khidmah NU dalam rangka berpartisipasi aktif memecahkan masalah ledakan penduduk yang menimpa bangsa/negara.

Perkembangan Pengelolaan Program KB dan Kependudukan di Lingklungan NU

Periode Rintisan Landasan 1968-1972

1968 (17 Okt), Penanganan (Resphon) Kebijakan KB Oleh Menko Kesra RI dalam LKBN.

1969 ( 25 September) PBNU, Syuriyah mengeluarkan delapan pedoman pokok tentang pelaksanaan KB: Menetapkan Garis tentang Pengertian KB; dan PBNU mengamanatkan pada Muslimat NU dalam penanganan KB di lingkungan NU.

1971, (23 Desember) Muktamar ke 25 NU (Pengokohan delapan Pedoman Pokok KB).

1972. (26 Januari). Keputusan Musyawarah Ulama Terbatas tentang KB dari perspektif Islam.

Penangan KB-NU dalam periode ini adalah bagian dari PP Muslimat NU yang dipimpin oleh Ny.H.S.A. Wahid Hasyim (ibunya Gus Dur)

Periode Pemantapan Landasan 1973-1978

1973, (Agustus). PP Muslimat NU membentuk Unit Pengelola KB: NU bekerjasama dengan berbagai pihak, baik dari dalam negeri maupun dengan pihak luar negeri. Menggalakkan program KIE di lingkungan NU.

1976 (10 Mei). Lokakarya Pendidikan Kependudukan di Lingkungan NU, dan Persiapan mendirikan LKKNU.

1977. PBNU mendirikan LKKNU.

1978. LKKNU bekerjasama dengan PP Maarif NU menerbitkan Kurikulum KB/Kependudukan untuk Sekolah/Madrasah di lingkungan NU.

Karena semakin luasnya cakupan kegiatan, pelaksana program KB-NU ditangani oleh Proyek Keluarga Berencana Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU Pusat. Kegiatan utamanya KIE, dengan memperluas jaringan di lingkungan NU. Dalam periode ini tercatat nama-nama Ny. Hj. Saifuddin Zuhri, Dr. H. Fahmi Saifuddin dan Ny.Hj. Soeparman.

Periode Pengembangan 1979-1984

1979, LKKNU mengintegrasikan program KB-Kependudukan ke dalam Program Dasar Pengembangan NU (1979-1984). Musyawarah ulama dan tenaga ahli kedokteran tentang wasail (alat kontrasepsi ?) KB. Menerbitkan buku pedoman program KB-Kependudukan di lingkungan NU.

Periode ini era penjabaran pendidikan kependudukan di lingkungan NU, seperti di sekolah-sekolah (SD, SMP, SMA) dan madrasah-madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah.

Ujicoba Pendidikan Kependudukan di 5 Pondok Pesantren, disamping KIE dilakukan di pondok pesantren juga melalui majelis taklim, mimbar jumat dan kelompok-kelompok pengajian. Tercatat KH. Ali Yafie sebagai motor penggerak LKKNU pada periode ini.

Periode Perluasan Jangkauan 1985-1990

1985. LKKNU menyususun program 1986-1991

Pada periode ini LKKNU telah memiliki 18 propinsi dan 8 cabang di Dati II. Memantapkan program Kependudukan dan KB di 20 pesantren pada 10 propinsi.

Seminar Ulama di Provinsi Aceh/NAD, Jambi, Jawa Timur, dan Sulawesi Tenggara, tujuannya untuk menyamakan visi dan persepsi para ulama dan pemuka agama Islam dalam bidang KB/Kependudukan..

Menerbitkan bulletin Keluarga maslahah (dengan tulisan arab pegon sesuai dengan sasaran) dukungan The Pathfinder Fund, UNFPA, dan BKKBN.

Income generating/UPGK, peningkatan pendapatan keluarga akseptor. (NKKBS).

Menyelenggaran pelatihan pengelola klinik dan paramedis.

Pada periode ini tercatat tokoh kependudukan HM Rozy Munir dan H. Asnawi Latif, sebagai penggerak LKKNU.

Periode 1990 - 2000

Pada Periode ini program KB/Kependudukan di NU mendapat landasan yang semakin kuat, yaitu dengan Penandatanganan Naskah Kerjasama LKKNU dengan BKKBN di Gedung PBNU Jakarta 23 April 1990, antara KH. Abdurrahaman Wahid, Ketua Umum PBNU, dengan DR. H. Haryono Suyono BKKBN,

Naskah Kerjasama itu merupakan bentuk penyempurnaan kerjasama program KB/Kependudukan 15 th sebelumnya (komitmen politis untuk menjadi mitra kerja (unit pelaksana) yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk program pada komuntas pondok pesantren.

Periode pengembangan pelayanan KB-Kesehatan (kependudukan) dengan intervensi program yang cukup dominan dari SDES sampai memasuki era krisis yang berkepanjangan, program pelayanan KB-Kes., dan kependudukan banyak mengalami hambatan.

Pelayanan KB/Kes. (Kependudukan)

Periode ini LKKNU mengembangkan model-model pelayanan, yaitu merupakan peningkatan program pokok LKKNU pada bidang KIE.

Dalam hal ini sebagai contoh diujung periode 1999/2000, LKKNU dilaporkan dalam Laporan Review Tengah Tahunan Proyek SDES (Service Delivery Expansion Support), BKKBN, capaian kunjungan pasien/akseptor ke klinik/pos-pos pelayanan NU tercatat 22.463 orang

MOW (256); MOP : 237 orang, IUD: 2.23 orang, Implans/susuk : 2.232 orang, suntikan satu bulan 3.006 orang, suntikan 3 bulan : 7.001 orang, Pil: 5.817 orang, kondom : 1.244 orang, tisu: KB: 366 orang, serta lain-lain 61 orang.

Nama-Nama Klinik Pelayanan:

Klinik-klinik yang pernah diintervensi/kerjasama oleh program pengembangan KB-Kes./Kependudukan berada di 7 (tujuh) propinsi, yang meliputi:

1. Sumatera Utara:

RB Muslimat NU Barus

Klinik YKM NU Medan

RB Islam Darul Hikmah Air Batu Asahan

RB Masyithah Padangsidempuan

2. Sumatera Selatan

Klinik Pesantren Subulussalam Ogan Komering Ulu

Klinik Tanjungraman, Muara Enim

Klinik Almasri Muba

Klinik Pesantren Nurulqomar Palembang

Klinik Pesantren Walisongo Musirawas

Klinik Ponpes Daarul Muttaqiin Lahat

RB Maryani Palembang

Klinik Pesantren Nurul Huda OKU

3. Lampung

RB Siti Hajar Latifah Pringsewu

RB Betikhati An Nisa Payungrejo

4. Jawa Barat

Klinik Pesantren Kempek Cirebon

Klinik Assyifa Lebak

5. Jawa Tengah

RB Masyithoh Jepara

RB Kurnia Muslimat NU Banyumas

RBNU Demak

RB Siti Khodijah Kebumen

BKIA Mabarrot NU Wonosobo

RB Muslimat NU Pekalongan

6. Jawa Timur

RB Nyi Ageng Pinatih Gresik

RB An Nur Muslimat NU Kediri

RB Muna Parahita Jember

RSI Nurul Ummah Lamongan

RBI Muslimat NU Caruban Madiun

BP NU Pandaan

7. ulawesi Selatan

Klinik Keluarga Maslahah NU Ujungpandang

Klinik Keluarga Maslahah Polmas

Kader

NU senantiasa berupaya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan para kader/pengelola klinik.

Dalam bidang manajemen dan penguatan kelembagaan, melalui program SDES sejak tahun 1995/1996 sampai dengan tahun 1999/2000, telah tercatat sejumlah peserta training sebanyak 594 orang, dengan perincian training:

Sosial Marketing : 111 orang

Organizational Development Workshop 60 orang

Manajemn Keuangan 53 orang

Penyegaran Pemasangan Implan dan IUD bagi para dokter dan bidan 21 orang

Mother and Child Health for Middies 40 orang

Motivator Klinik 106 orang

FP/RH Conseling 25 orang

Health Fund Raising 31 orang.

Pengembangan KIE 100 orang

Periode 2001- 2004, sampai 2009

Era konsolidasi/otonomi daerah

Masalah-masalah

Melunturnya kesadaran ber-KB di kalangan masyarakat, dampak dari menurunnya tingkat ekonomi masyarakat.

Keterbatasan kader-kader sukarela yang trampil, di samping itu masalah yang paling dominan adalah membangun kerjasama antar kelembagaan, mulai dari berkomunikasi untuk bermitra sampai dengan menentukan institusi yang berkompeten di tingkat daerah yang menangani KB/Kependudukan, karena tidak semua daerah memprioritaskan program KB-Kependudukan dalam program pembangunannya. Kalaupun ada institusi yang menangani beragam dan belum menunjukan kesungguhan dalam menghadapi masalah KB/Kependudukan. Barang kali program pengendalian laju pertumbuhan penduduk kurang begitu menarik dibanding program pilkada yang notabene bukan hal yang mustahil penduduk dibiarkan tumbuh, hanya karena persepsi yang keliru mengartikan demokrasi yang membutuhkan dukungan penduduk yang besar (banyak). Moga-moga tidak demikian.

Dalam Periode ini LKKNU menaruh harapan akan pulihnya kondisi kiris menuju kondisi normal, sehingga partisipasi dan peran serta LKKNU dalam program KB dan Kependudukan dapat berjalan baik. Karena itu dengan adanya Rapat Kerja Program KB Nasional tahun 2007 yang diselenggarakan oleh BKKBN, kita sambut gembira, semoga Keluarga Berencana Kuat, Pertumbuhan Penduduk Menurun, Kesejahteraan Meningkat dapat tercapai.

Rekomendasi

Era akhir 90-an dan memasuki awal 2007 boleh dikatakan Era transisi dalam pelaksanaan program KB/Kependudukan di lingkungan NU, yaitu dampak dari krisis yang berkepanjangan, sehingga capaian-capaian kuantitas dan kualitas pembangunan KB/Kependudukan di lingkungan NU dalam rangka mewujudkan keluarga maslahah boleh dikatakan ”jalan ditempat”, karena itu melalui klinik-klinik/pos-pos pelayanan KB/Kesehatan di lingkungan pondok pesantren NU, sesungguhnya masih sangat membutuhkan untuk diintervensi program, sesuai dengan semangat dan pendekatan desentralisasi. Karena itu LKKNU merekomendasikan:

Revitalisasi pelibatan (LSOM) dan ormas agama sebagai pilihan mitra strategis BKKBN dalam melaksanakan program.

LSOM/ormas terlibat dalam penguatan kelembangaan dan program di daerah sesuai dengan isu Otonomi Daerah.

Optimalisasi Peran Pondok Pesantren (jumlah Pondok Pesantren sekarang kl. 10.000) di seluruh Indonesia.

Fatwa (halal/haram) NU menganggap sudah selesai kecuali ada produk-produk baru yang berkaitan dengan alat kontrasepsi KB, yang dipandang dapat menggangu secara syar’iy.

Isu gender perlu dimaknai dengan meningkatkan peran laki-laki dalam ber KB.

APBN, perlu diperioritaskan pada pembangunan KB dan Kependudukan.

Memperluas jaringan

Penutup

Demikian pengalaman LKKNU dalam berpartisipasi aktip pembangunan KB/Kependudukan di Indonesia, semoga bermanfaat.

.

Selengkapnya...

Senin, 09 Februari 2009

LKM untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Pesantren



Pemberdayaan masyarakat miskin hampir bisa dibilang identik dengan pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah. Banyak hal yang telah dilakukan untuk mengangkat serta menguatkan sektor UKM tersebut, kecuali satu hal yang sering terlewatkan; yakni penguatan keuangan mikro yang mampu menjadi mediasi modal bagi UKM.

Pengelolaan UKM secara professional, kerja keras dan kejujuran berhasil menjadi pilar perekonomian rakyat yang bersumber dari tingkat kemandiriannya yang tinggi, tidak banyak bergantung kepada utang. Sehingga tidak mengherankan ketika para pengusaha besar gulung tikar karena terkejut dengan bencana krisis ekonomi, UKM tetap hidup dan terus berkembang menahan laju krisis. Sayangnya, walaupun telah banyak dipuji dan dikagumi, UKM tetap belum dijadikan landasan perekonomian nasional. Bahkan tidak jarang UKM menjadi "korban" kebijakan ekonomi negara. Kini, dengan jumlah kemiskinan yang terus meningkat, UKM kembali dilirik dan diharapkan mampu berkontribusi menekan angka kemiskinan di Indonesia.

Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal pada dasarnya adalah lembaga Negara yang khusus menangani bagaimana meningkatkan perkembangan pembangunan di daerah tertinggal yang nantinya berimplikasi pada peningkatan taraf ekonomi masyarakatnya. Dalam hal ini, diperlukan sebuah kebijakan ekonomi yang berbasis kerakyatan, yang tidak diskriminatif terhadap rakyat kecil. Minimal itu yang saat ini masuk akal untuk dilaksanakan. Hal ini bisa diwujudkan melalui bantuan berupa kemudahan dalam mengakses berbagai kredit mikro yang akhir-akhir ini lagi marak dikampanyekan oleh pemerintah sebagai stimulus untuk memberdayakan ekonomi mikro di tingkat daerah.

Salah satu syarat penting keberhasilan upaya pemberdayaan ekonomi kerakyatan, terutama untuk menolong keluarga dan penduduk miskin, adalah adanya Lembaga Keuangan Mikro yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap masyarakatnya. Kepedulian itu tidak saja dalam bentuk pemberian kredit atau pinjaman dana, tetapi terutama dalam upaya pendampingan yang disertai dengan bantuan pendidikan dan pelatihan untuk bisa menyelenggarakan pengelolaaan keuangan dengan baik serta pemberian kesempatan yang adil dan luas dalam usaha-usaha yang menguntungkan. Lembaga Keuangan Mikro itu harus bisa membangkitkan kemauan, memberi kesempatan dan akhirnya membantu nasabahnya, masyarakat miskin yang mempunyai motivasi untuk maju, dengan kemampuan profesional untuk melakukan usaha yang menguntungkan.

Pemberdayaan menjadi sebuah kalimat yang amat popular di negeri ini, keterpurukan yang sangat menimpa negeri ini menjadikan kalimat pemberdayaan semakin berkibar untuk meretas ke tidakberdyaan lawan dari sebuah pemberdayaan.

Lantas, pemberdayaan model apa yang diharapkan dan sesuai dengan keinginan dari sebuah negeri yang sedang terpuruk dan terhempas oleh keserekahan segelintir orang di republik ini, mungkin akan banyak solusi yang ditawarkan oleh anak bangsa ini, dari yang sungguh–sungguh dalam berbuat atau mungkin dari sekedar mencari kesempatan dari kesempitan yang mendera.

Salah satu tawaran yang menarik dan telah banyak di buktikan dalam proses berjalan ketika sebuah wadah pendidikan yang bernama pesantren mewujud menjadi sebuah intitusi pendidikan yang sekaligus berfungsi sebagai agen perubahan (pemberdayaan).

Pesantren adalah lembaga pendidikan multi system dan multi dimensi. Pesantren adalah laboratorium kehidupan. Maju mundurnya pesantren menjadi cermin maju mundurnya umat.

Kutipan diatas di ambil dari sebuah buku menarik dengan judul "Catatan Untuk Para Pejuang" sebuah refleksi tentang pemikiran pendidikan dan keagamaan Mad Rodja Sukarta. Menarik untuk dicermati dari buku yang sekaligus pelaku pendidikan pesantren, bahwa pemberdayaan berbasis pesantren adalah fakta konkrit yang telah mensejerah di negeri ini

Pengembangan pendidikan dan pengembangan ekonomi masyarakat berbasis pesantren. Adalah sebuah pengalaman pesantren dalam peran mendorong masyarakat untuk melakukan perubahan pendidikan, moral maupun ekonomi menuju masyarakat yang berakhlaqul karimah, cerdik-pandai, terampil dan mandiri (bermanfaat bagi masyarakat dan agama).

Dalam konteks pendidikan pesantren dan masyarakat terampil dan mandiri melalui pengembangan ekonomi yang berorientasi pemberdayaan masyarakat 'basis' binaan.

Proses pembinaan tidak saja bersifat finansial ekonomis tetapi juga mengandung bobot sosiologis kental dengan muatan agamis yang diarahkan untuk mengembangkan kesejahteraan dunia dan akhirat. Dengan pembinaan yang bersifat paripurna itu maka para nasabah harus dikembangkan sikap, motivasi dan tingkah lakunya, baik dalam urusan bisnis maupun dalam kepedulian terhadap masyarakat sekitarnya. Karena itu Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang diperlukan di pedesaan sekarang ini harus mempunyai jiwa kewirausahaan yang tinggi, tetapi sekaligus juga harus mempunyai ciri humanitas yang tidak kalah kentalnya.

Lembaga Keuangan Mikro dengan visi dan misi yang demikian luhur tidak bisa diciptakan dengan cara biasa. Lembaga itu harus dibangun dengan semangat, ketekunan, jiwa kooperasi yang besar bersama masyarakatnya dan dilengkapi dengan petugas-petugas yang motivasinya tinggi.

Selengkapnya...

Kamis, 29 Januari 2009

NARKOBA SEBABKAN MACAM RUPA KERUSAKAN

Oleh: Syamsul Hadi Thubany
(Pemerhati sosial-pedesaan dan aktif di PP.LKKNU)

”Janganlah kamu membuat madharat pada diri sendiri dan pada orang lain”
(H.R. Ibnu Majah Ad-daraquthni)

Apapun bentuknya perbuatan yang dapat menjurus pada tindakan perusakan termasuk kategori dhalim dan dilarang keras oleh agama. Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin sangat tegas melarang umatnya untuk berbuat kerusakan, baik terhadap diri sendiri (badan), orang lain/masyarakat sekitar, serta lingkungan hidup. Menurut ketentuan ajaran syariat Islam, kita diwajibkan untuk menjaga keseimbangan kehidupan demi kelestarian di masa depan. Perintah ini dapat kita rujuk pada firman Allah dalam Surat Al-Qashash ayat 77; ... “dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan“.

Narkoba atau narkotika (Yunani: Narkoum) –yang berarti pembuat lumpuh atau perbuatan mati rasa-- tidak hanya membinasakan badan dan jiwa si pemakai, tetapi juga bisa merusak lingkungan sekitarnya; keluarga maupun masyarakat secara luas. Bahkan narkoba telah menjadi ancaman serius terhadap ketahanan sebuah komunitas masyarakat di samping kelangsungan hidup sebuah bangsa. Betapa tidak mengerikan akibatnya, terdapat sekitar 1,5 persen dari populasi penduduk Indonesia merupakan pemakai narkoba atau sekitar 3,2 sampai 3,6 juta orang. Sebanyak 15 ribu orang harus meregang nyawa setiap tahun akibat mengkonsumsi barang laknat ini, 78 persen diantaranya adalah anak-anak usia 19-21 tahun. Dan gara-gara narkoba pula, negara harus mengeluarkan dana cukup besar, yaitu Rp. 23,6 trilliun sebagai biaya ekonomi dan sosial akibat penyalahgunaan narkoba.

Ancaman serius ini ditandai oleh semakin meningkatnya kasus pecandu (junkis) dan para pengedar narkoba yang sudah diproses secara hukum. Dalam mana faktanya menunjukkan angka yang terus meningkat. Malahan belakangan ini Indonesia tidak hanya dikenal sebagai pasar raya konsumen narkoba, bahkan telah meningkat sebagai negara produsen benda adiktif yang mencelakakan masa depan generasi bangsa itu, --setelah beberapa kasus berhasil dibongkar oleh aparat kepolisian terhadap pabrik narkoba di Jakarta, Batam, Surabaya dan di tempat-tempat lain.

Lebih dari itu, narkoba tidak hanya merusak aspek fisik dan psikis para penguna, tetapi juga menjadi perantara penyakit menular berbahaya seperti HIV/AIDS yang di negeri ini dari tahun ke tahun penderitanya cenderung meningkat. Menurut data yang dilansir harian Duta Masyarakat (19/12/2007) di Indonesia pada tahun 2006 terdapat 14.628 penderita, dan di tahun 2007 meningkat menjadi 15.400 orang (terdiri 5.813 penderita HIV dan 9.587 penderita AIDS). Adapun dari aspek ekonomi pengaruh narkoba bisa berakibat pada penurunan produktivitas kerja. Sedangkan dari aspek sosial-kemasyarakat dapat menggangu jalannya tertib sosial dan keselarasan di masyarakat.

Secara ilmiah, terbukti ada korelasi positif antara faktor agama dan gerakan menghadang penyebaran bahaya narkoba. Masyarakat yang masih kental dengan pengamalan nilai-nilai relegius lebih bisa menghindar dari bahaya narkoba dibandingkan dengan masyarakat yang kering dari nilai-nilai agama. Pun demikian, faktor agama dalam proses penyembuhan terhadap pengguna narkoba juga dinilai memiliki korelasi positif dan signifikan.

Berdasarkan data psikiater Prof Dr. Dadang Hawari, metode rehabilitasi kasus narkoba yang memasukkan konsep agama memiliki tingkat kegagalan sekitar 12 persen. Sementara, tingkat keberhasilan rehabilitasi kasus narkoba tanpa konsep agama mencapai kisaran 43 persen. Sebagai tindakan prefentif pendidikan nilai-nilai agama sejak usia dini jauh lebih efektif untuk mencegah mewabahnya bahaya narkoba. Maka dari itu, tidak disangsikan lagi betapa pentingnya pendidikan agama atau dakwah Islam durasi serta intensitasnya perlu terus di tingkatkan dalam penyelenggaraannya terutama di tiga ranah pendidikan.

Pertama, pendidikan agama di lingkungan keluarga. Keluarga merupakan lingkungan awal bagi seorang anak memperoleh hak dasar akan pendidikan. Di lingkungan sosial terkecil ini transformasi nilai-nilai agama (Islam) sangat dibutuhkan anak dalam proses pembentukan mentalitas anak di masa depan. Dalam kondisi seperti ini orang tua berperan penting sebagai pendidik dalam mengajar, membina, membimbing dan membentuk tingkah laku kepribadian. Orang tua merupakan sentral figur dan sosok panutan yang layak dicontoh dan ditiru. Proses pendidikan agama sejak usia dini di lingkungan keluarga sangat berpengaruh dalam perkembangan kejiwaan dan kepribadiaan. Sehingga anak akan tumbuh menjadi sosok pribadi yang taat kepada orang tua dan Tuhannya.

Kedua, pendidikan agama di lingkungan sekolah/madrasah. Sekolah sebagai lingkungan belajar kedua setelah anak memperoleh transformasi nilai-nilai dan penetahuan termasuk ajaran agama pasca menempuh proses pembelajaran dari orang tua di rumah. Seorang anak usia sekolah rata-rata mendapatkan alokasi waktu pendidikan di sekolah rata-rata 6 jam setiap hari. Selain mendapatkan pengetahuan dan sain, seorang anak juga banyak belajar pengalaman dan tingkah laku dengan orang lain, yaitu kepada para bapak ibu guru dan teman-teman se-almamaternya. Maka, di sini sekolah mempunyai peran yang sangat besar dalam membentuk perkembangan jiwa dan kepribadian anak didik.

Ketiga, pendidikan agama di lingkungan masyarakat. Masyarakat merupakan lingkungan sosial terluas dalam pengembangan karakter dan pengetahuan anak dibandingkan kedua lingkungan di atas. Pengaruh pergaulan di masyarakat juga memiliki implikasi yang sangat besar terhadap tingkah laku seseorang. Oleh karena itu, seseorang sangat dianjurkan untuk memilih teman bergaul/bermail. Ketika mereka salah memilih teman bergaul ada kemungkinan besar ujung-ujungnya akan mengantarkan yang bersangkutan terjerumus ke dalam lembah kenistaan.

Untuk mencegah bahaya demoralisasi tersebut maka seyogyanya anak diarahkan untuk memasuki lingkungan sosial yang lebih mendidik ke arah keluhuran budi pekerti (akhlaq al-karimah). Misalnya anak di arahkan untuk aktif mengikuti kegiatan keagamaan di masjid atau di musholla/surau. Kegiatan sosial keagamaan ini sungguh sangat bermanfaat dan dapat menghindarkan anak untuk ikut-ikutan dalam pergaulan bebas yang menjerumuskan. Kegiatan yang bernuansa pendidikan keagamaan di masyarakat secara rutin dapat diikuti di majelsi-majelis taklim dan di pesantren. Kegiatan ini tentu saja akan dapat membendung pengaruh-pengaruh negatif yang diusung globalisasi, misalnya pornografi, kekerasan dan narkoba dapat dicegah secara prefentif.

Berdasarkan fakta-fakta dan argumen di atas, maka peran serta da’i dan da’iyah atau ustadz/kiai di lingkungan majelis taklim dan pesantren dalam rangka memerangi peredaran narkoba di Tanah Air menjadi urgen. Mengingat peran strategis mereka sebagai sentral figur sekaligus menjadi panutan di lingkungan sekitar. Dari merekalah sebenarnya pitutur dakwah (hikmah agama) yang mencerahkan jiwa bermuara. Untuk dipahami dan dipraktekkan oleh para pengikut/jama’ahnya. Dan, melalui piwulang nilai-nilai keislaman yang luhur ini diharapkan mereka dapat berkontribusi secara aktif membendung arus penyebaran bahaya narkoba di tengah-tengah kehidupan masyarakat dalam lingkup problematika modernitas yang semakin kompleks ini. Wallahu a’lam bi al-shawab
Selengkapnya...

Selasa, 20 Januari 2009

"MADZHAB" NU : Ahlussunnah Waljama'ah


Oleh : Nuruzzaman Amin

"Madzhab" : Sebuah Pengantar Argumentatif

Dalam diskursus fiqh, kata madzhab menjadi terkesan biasa karena sudah begitu akrab di telinga kita. Namun, setelah disandingkan dengan kata Nahdlatul Ulama, istilah madzhab menjadi sedikit genit. Menariknya, Nahdlatul Ulama adalah sebuah tradisi yang kental dengan nuansa kultur pesantren yang senantiasa bergelut, serta memilki romantika tersendiri terhadap kajian kitab kuning yang identik dengan kitab hukum (fiqh) yang mengajarkan berbagai masalah fiqh, dalam madzhab-madzhab tertentu.

Madzhab diartikan sebagai paham atau aliran hasil pemikiran seorang mujtahid tentang hukum-hukum Islam melalui ijtihad atas dasar Al-Qur'an dan Hadis. Dalam pengertian lain, madzhab dimengerti sebagai :
a) Manhaj (metoda) yang dipergunakan oleh seorang mujtahid salam menggali ajaran/hukum Islam dari Al-Qur'an dan Hadis.
b) Aqwal (ajaran/hukum) hasil istimbath yang dikeluarkan oleh seorang mujtahid dengan menggunakan manhaj tersebut.
Dalam The Concise Enciclopedio of Islam, kata madzhab diartikan secara liar sebagai sistem berfikir (a System of Thought). Dengan demikian, kata madzhab yang ditafsirkan secara "liar" mempunyai pengertian yang lebih simple sekaligus luas.
Dengan demikian, istilah "madzhab" yang disandingkan dengan Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi yang memilki basis massa yang diklaim tradisionalis, memiliki urgensitas tersendiri, yakni –setidaknya- untuk melegitimasi arus pemikiran yang senantiasa dikembangkan oleh para pemikir Nahdlatul Ulama.

Madzhab dan Bermadzhab dalam Nahdlatul Ulama

Masalah bermadzahab baik bagi para pengasuh pesantren dan para ulama Nahdlatul Ulama lain khususnya, dan bagi para nahdliyyin pada umumnya, menduduki posisi sentral. Hal ini tidak terlepas dari peran Nahdlatul Ulama yang diposisikan sebagai sebuah harokah untuk melestarikan prinsip-prinsip ini.
Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa untuk menjadi anggota Nahdlatul Ulama, menganut salah satu madzhab merupakan sebuah syarat mutlak yang tak terbantahkan. Kaum nahdliyin sepenuhnya sadar bahwa Al-Qur'an dan Hadis sebagai pedoman dasar dalam Islam perlu ditafsirkan dan diimplementasikan secara praktis dalam kehidupan, yang kesemuanya diadopsi dari fatwa dan pendapat dari imam madzhab.
Secara sangat tegas dinyatakan bahwa sistem bermadzhab adalah mekanisme terbaik untuk memahami dan mengamalkan ajaran/hukum Islam, yang berasal dari Al-Qur'an dan sunnah.

Setidaknya ada dua alasan mengapa Nahdlatul Ulama berpedoman pada madzhab-madzhab adalah :
1) Al-Qur'an sebagai sumber utama hukum Islam bersifat universal sehingga penafsiran yang absah adalah tafsir yang datang dari Nabi, sebagai manusia yang diklaim sepi dari nafsu buruk manusiawi. Dengan demikian, hanya Nabi, manusia yang tahu persis isi dan kandungan Al-Qur'an. Sunnah Nabi di sini berfungsi sebagai penjelas Al-Qur'an.
2) Sunnah Nabi yang berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya hanya diketahui oleh para sahabat yang hidup semasa dengannya. Oleh karena itu, perlu untuk memeriksa, menyelidiki, dan selanjutnya berpedoman kepada keterangan para sahabat tersebut. Namun sebagian ulama tidak memperbolehkan mengikuti sahabat begitu saja. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kepastian dan kemantapan, maka jalan yang ditempuh adalah merujuk kepada para ulama mujtahidin yang tidak lain adalah imam madzhab yang empat.

Paham Ahlussunnah Waljama'ah

 Pengertian dan Kerangka Historis

Secara etimologis, ahlussunnah berarti penganut sunnah. Istilah ahlussunnah waljama'ah merupakan terma yang pernah disebut oleh Rasulullah sendiri ketika beliau disuguhi pertanyaan tentang apa itu assunnah waljama'ah, seraya mengatakan : "maa ana 'alaihil yauma wa ash-habi" (apa yang aku berada di atasnya sekarang bersama para sahabatku). Para pengikut assunnah waljama'ah inilah yang disebut sebagai "Ahlussunnah Waljama'ah", yang dinyatakan sebagai kelompok kaum muslimin yang akan selamat "masuk surga".

Ahlussunnah waljama'ah sesudah zaman rasulullah ialah para pengikut assunnah waljama'ah. Mereka selalu memegang ajaran assunnah waljamaah (ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah, dilaksaanakan para sahabatnya), selalu berusaha mendapat pemahaman, penghayatan dan pengamalan seperti itu. Bagi kaum ahlussunnah waljamaah, yang paling utama adalah didapatnya pemahaman, penghayatan dan pengamalan (termasuk pandapat dan pendirian) yang kadar ketepatannya tinggi, diukur dengan pemahaman, penghayatan dan pengamalan pada zaman Rasulullah.

Sebelum abad ke III Hijriyah, i'tiqod Nabi dan para sahabatnya telah termaktub dalam Al-Qur'an dan Hadis Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun dengan rapi. Baru setelah Imam Abu Hasan al-Asy'ari, seorang ahli ushul fiqh kelahiran Basrah 260 H dan wafat pada tahun 324 Hijriyah, mengumpulkan dan merumuskan secara teratur, ajaran ahlussunnah waljama'ah menjadi sebuah fenomena baru yang menentang aliran Mu'tazilah yang bersimaharajalela, pada saat itu. Oleh karena itu, kaum yang setia dengan ajaran ahlussunnah waljama'ah biasa dikenal dengan kaum Asya'irah jama' dari Asy'ari. Dalam kitab-kitab ushuluddin, juga dijumpai terma "Sunny" kependekan dari ahlussunnah waljama'ah, orang-orangnya disebut "Sunniyun".

Akar historis lahirnya kaum ahlussunnah waljama'ah tidak terlepas dari lahirnya firqah-firqah dalam perkembangan konstelasi politik yang berujung kepada penegasan tiap firqah dalam memahami ajaran Islam. Muara dari sekian perseteruan elit inilah yang kemudian memunculkan berbagai aliran dalam tubuh ummat Islam. Setiap firqah memiliki sebuah prinsip dasar baik dalam wilayah fiqh, tasawuf maupun politik.
Karakteristik tiap golongan dianggap penganutnya sebagai orisinalitas pendapat imam firqah. Akibatnya, setiap firqah mengklaim bahwa pendapat dan pemahaman golongannya adalah yang paling sahih. Dalam suasana yang demikian inilah kelompok ahlussunnah waljama'ah mencoba memberikan penawaran yang adil bagi ummat, yakni tawasuth (keseimbangan, posisi tengah-tengah diantara golongan-golongan yang ada)
Di Indonesia, pengertian ahlussunnah waljamaah sebagaimana tercermin dalam tubuh Nahdlatul Ulama, merupakan penegasan kaum tradisionalis menanggapi gerakan pembaruan, seraya berpendapat bahwa memahami Islam tidak cukup hanya berlandaskan Al-Qur'an dan Hadis tetapi harus melalui jenjang tertentu, yaitu ulama madzhab, Hadis (sunnah) dan akhirnya pada sumber utama Al-Qur'an itu sendiri. Inilah kemudian mengapa dalam tradisi Nahdlatul Ulama, istilah ahlussunnah waljamaah dimengerti sebagai golongan yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad dan Ijma' ulama.

 Ajaran Ahlussunnah Waljama'ah Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah jam’iyyah diniyah yang lahir sebagai salah satu ciri/indikasi bagi masyarakat modern di indonesia. Sebab dengan lahirnya organisasi-organisasi keagamaan menandakan adanya kemajuan pola berfikir dan pola kehidupan dalam masyarakat dan bangsa. Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah diniyah Islamiyah yang bertujuan membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah senantiasa berpegang teguh kepada kaidah-kaidah kegamaan (Islam) dan kaidah-kaidah kenegaraan dalam merumuskan pendapat, sikap dan langkah-langkahnya.
Oleh karena itu, penting untuk diungkap mengenai alam pikiran (paham) Nahdlatul Ulama, baik dalam bidang kegamaan, kemasyarakatan maupun pola pikir yang menajdi pedoman dan landasan dalam segala gerak dan langkahnya.

1. Dalam Bidang Kegamaan

Dalam bidang keagamaan, Nahdlatul Ulama memilki paham yang dapat diringkas ke dalam tiga kelompok, yaitu :
1) Dalam bidang aqidah
2) Dalam bidang fiqh
3) Dalam bidang tasawuf

Dalam bidang aqidah, Nahdlatul Ulama menganut faham yang berdasar pada aliran ahlussunnah waljama’ah. Faham ini menjadi landasan utama bagi Nahdlatul Ulama dalam menentukan segala langkah dan kebijakannya, sebagai organisasi keagamaan murni, maupun sebagai partai politik. Hal ini ditegaskan dalam AD/ART Nahdlatul Ulama.
Faham ahlussunnah waljama’ah yang dianut oleh Nahdlatul Ulama adalah faham yang dipelopori oleh Abul Hasan al-Asy’ary dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Keduanya dikenal mempunyai keahlian dan keteguhan dalam mempertahankan i’tiqad (keimanan) ahlussunnah waljama’ah seperti yang diisyaratkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Jadi dalam melaksanakan ajaran Islam, bila dikaitkan dengan masalah aqidah harus memilih salah satu diantara dua yaitu al asy’ary atau al maturidi.

Dalam bidang fiqh, secara tegas, Nahdlatul Ulama berpegang teguh kepada imam madzhab empat yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Dengan demikian, Nahdlatul Ulama yang berfaham ahlussunnah waljama’ah memegang teguh produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu madzhab empat tersebut. Artinya bahwa dalam rangka mengamalkan ajaran agama Islam Nahdlatul Ulama menganut dan mengikuti produk hukum Islam dari salah satu madzhab empat sebagai konsekwensi dari menganut faham ahlussunnah waljama’ah. Walaupun demikian tidak berarti Nahdlatul Ulama tidak lagi menganut ajaran rasulullah, sebab keempat madzhab tersebut berlandaskan Al-Qur'an dan sunnah disamping ijma’ dan qiyas sebagai sumber pokok Hukum Islam.

Dalam lapangan tasawuf, Nahdlatul Ulama mengikuti aliran tasawuf yang dipelopori oleh imam al junaid al baghdadi dan imam al ghazali. Imam junaid al baghdadi adalah salah satu ulama sufi terkenal yang wafat pada tahun 910 M di irak, sedang al ghazali adalah ulama besar yang berasal dari persia.

2. Dalam Bidang Kemasyarakatan

Sikap Nahdlatul Ulama dalam bidang kemasyarakatan diilhami dan didasari oleh sikap dan faham keagamaan Nahdlatul Ulama. Sikap kemasyarakatan Nahdlatul Ulama bercirikan pada sikap : tawasuth dan i’tidal, tasamuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi munkar. Sikap ini harus senantiasa dimiliki baik oleh aktifis Nahdlatul Ulama maupun segenap warga dalam berorganisai dan bermasyarakat.

Sikap tawasuth dan i’tidal
Tawasuth, secara etimologis berarti tengah, sedang i’tidal artinya tegak. Sikap tawasuth dan i’tidal maksudnya adalah sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Dengan sikap dasar ini Nahdlatul Ulama akan selalu menjadi kelompok toladan yang bersikap membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrem).

Sikap tasamuh
Yang dimaksud dengan sikap ini adalah bahwa Nahdlatul Ulama bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah maupun dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan. Muara sikap tasamuh ini adalah terciptanya kesepahaman antar golongan untuk saling memiliki semangat kebersamaan untuk menerima perbedaan diantara golongan yang plural.

Sikap tawazun
Yakni dikap seimbang dalam berkhidmad. Menyesuaikan khidmad kepada Allah swt, khidmad kepada sesama manusia, serta kepada lingkungannya. Menyerasikan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Amar ma’ruf nahi munkar
Segenap warga Nahdlatul Ulama diharapkan mempunyai kepekaan untuk mendorong berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta mencegah semuahal yang menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Dengan adanya keempat aspek tersebut diharapkan kehidupan umat Islam (khususnya warga Nahdlatul Ulama) akan terpeliharasecara baik dan terjalin secara harmonis baik dalam lingkungan organisasi maupun dalam masyarakat. Demikian pula perilaku warga Nahdlatul Ulama senantiasa terbentuk atas dasar faham keagamaan dan sikap kemasyarakatan, sebagai sarana mencapai cita-cita dan tujuan baik tujuan keagamaan maupun tujuan kemasyarakatan.

 Dasar Hukum dalam Paham Ahlussunnah Waljama’ah

Dasar-dasar yang dapat dipegangi dalam menentukan hukum adalah sebagaimana telah diamanatkan oleh imam madzhab empat sebagai berikut :
1. Al-Qur'an. Dasar yang diambil dalam Al-Qur'an merupakan dalil terkuat untuk menentukan hukum Islam.
2. Hadis Nabi, yaitu meliputi sabda Nabi, perbuatan dan ketetapan Nabi. Kekuatan Hadis berada di bawah Al-Qur'an. Oleh karena itu, dalil dari Hadis hanya bisa dipergunakan setelah tidak ditemukan dalil dalam Al-Qur'an.
3. Ijma’, yaitu kesepakatan para mujtahidmengenai suatu hukum. Ijma’ baru bisa digunakan sebagai dalil terhadap sesuatu perkara, setelah ternyata tidak ditemukan dalilnya dalam Al-Qur'an dan Hadis.

Ijma’ ada beberapa macam, yaitu :
1) Ijma’ qath’iy atau ijma’ bayaniy atau ijma’ qauly, yaitu ijma’ yang dilakukan dengan perkataan atau tulisan.
2) Ijma’ dhanny atau ijma’ sukuty, yaitu ijma’ yang diproses dengan cara diam diri.
3) Ijma’ shahabiy atau ijma’ shahabat, yaitu ijma’ yang terjadi di antara mujtahid shahabat Nabi.
4) Ijma’usy syaikhon, yaitu ijma’ yang terjadi antara abu bakar dan usman.
4. Qiyas, yaitu menyamakan hukum suatu masalah yang belum diketahui hukumnya dengan amsalah lain yang sudah diketahui hukumnya, karena diantara keduanya terdapat kesamaan Allah yang menajdi dasar penentuan hukum.

Selain empat sumber hukum Islam tersebut di atas, Nahdlatul Ulama dalam menetapkan hukum juga mengacu kepada lima pokok tujuan syari'ah, yang dikemukakan oleh imam syathibi. Konsep dari imam syatibi ini dikenal dengan maqashid al syari'ah yang berarti maksud atau tujuan disyari'atkan hukum Islam yaitu terpeliharanya hikmah dalam menetapkan suatu hukum. Konsep ini mengandung lima pokok kemaslahatan yang harus terdapat dalam setiap produk hukum Islam. Kelima pokok itu adalah terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.

Ciri lain yang tidak bisa dipisahkan dari pola pikir Nahdlatul Ulama adalah digunakannya kaidah-kaidah (qawa'idul fiqhiyah) yang diantaraanya adalah lima pokok qaidah fiqhiyah,seperti diungkap dalam al asybah wa al nadhair , yaitu :
1. الامور بمقاصدها (setiap urusan tergantung tujuannya)
2. اليقين لايزال بالشك (keyakinan itu tidak bisa dihilangkan karena keraguannya)
3. الضرريزال (bahaya harus dilenyapkan)
4. المشقة تجلب التيسير (kesulitan itu dapat memberikan kemudahan)
5. العادة محكمة (adat kebiasaaan dapat dikukuhkan sebagai hukum)

Dari kelima kaidah pokok ini, sebagai derivasinya, muncul berbagai kaidah lain yang kesemuanya memiliki korelasi dengan salah satu lima kaidah pokok di atas. Kaidah-kaidah ini memiliki peran signifikan dalam merumuskan berbagai kebijakan hukum Nahdlatul Ulama, dari dimensi privat maupun dimensi publiknya. Kaidah-kaidah fiqhiyah inipun memiliki posisi sentral dalam menentukan arah kebijakan dalam wilayah politik, tepatnya menetukan ijtihad politik Nahdlatul Ulama.

Dalam berbagai masalah yang dihadapi Nahdlatul Ulama memiliki sebuah forum kajian yang membahas produk fiqh (Hukum Islam) yang dikenal dengan naam "Bahtsul Masail Diniyah" ( pembahasan masalah-masalah keagamaan). Jadi dalam forum ini berbagai masalah keagamaan digodok dan diputuskan hukumnya, yang selanjutnya keputusanm tersebut menajdi pedoman warga nahdliyin. Dalam forum-forum inilah qawa'idul fiqhuyah menemukan urgensitasnya.

Yang terakhir, mungkin ini yang membedakan pola pikir Nahdlatul Ulama dengan yang lain, yaitu bahwa dalam mengikuti pendapat mengenai masalah agama, maka yang dinilai bukan hanya pendapatnya melainkan juga orangnya, yaitu bagaimana akhlak dan kepribadiannya. Oleh sebab itu keputudan-keputudan ijtihad politik Nahdlatul Ulama yang dijadikan referensi selalu kitab-kitab yang muktabarah yang ditulis oleh -meminjam bahasa mereka- shalafus shaleh. Hal ini karena Nahdlatul Ulama mengikuti sabda Nabi Saw : "fandzuru 'an man ta'khudzunahu" (perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya).

Hal ini dapat dilihat betapa pesantren menekankan silsilah intelektual, artinya bahwa seorang kiai untuk meyakinkan kebsahan ilmunya dan murid dari seorang ulama terkenal, tidak cukup seorang itu alim dalam ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga harus jelas dari siapa ilmu tersebut diperoleh. Misalnya K.H. Munawir yang terkenal sebagi ahli tajwid Al-Qur'an pada abad ke-20, beliau memperoleh ilmu tersebut dari Abdul Karim Bin Umar yang mata rantai sanadnya sampai pada Rasulullah Saw.

Pandangan Hidup Menurut Ahlussunnah Waljama'ah

Setiap harokah keagamaan memiliki sebuah pedoman hidup yang dipandang sebagai cermin bertidak dan bergaul dengan sesama. Pandangan hidup ini merupakan prinsip-prinsip dasar untuk menentukan sikap dalam pergaulan hidup di tengah pluralisme pandangan hidup yang lain. Nahdlatul Ulama sebagai harokah keagamaan memiliki pandangan hidup yang berpangkal pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Pedoman Hidup adalah Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, yang difahami menurut tuntunan yang digariskan oleh para imam madzhab empat.
2. Teladan Hidup adalah Rasulullah, sahabat Nabi dan para ulama.
3. Tugas Hidup adalah untuk beribadah dalam arti seluas-luasnya. Ibadah di sini mencakup dua pengertian, yakni :
1) Ibadah Mahdlah (ibadah vertikal), yaitu ibadah yang merupakan hubungan langsung dengan Allah. Misal : shalat, puasa, dzikir, haji, dan lain sebagainya.
2) Ibadah Muamalah (ibadah horizontal), yaitu ibadah-ibadah yang merupakan hubungan antara sesama manusia. Misal : menolong orang, membangun kemaslahatan ummat, dan lain sebagainya.
4. Tujuan Hidup adalah untuk mendapatkan mardlatillah (keridlaan Allah)
5. Kawan Hidup adalah seluruh kaum mu'minin
6. Pelindung dan Penolong dalam Hidup adalah Allah Subhanahu Wa ta'ala
7. Lawan Hidup adalah :
a) Syetan, terdiri dari jenis jin dan jenis manusia
b) Sikap kufur dan orang-orang kafir
c) Sikap syirik dan orang-orang musyrik
d) Sikap nifaq dan orang-orang munafiq
e) Sikap dlalim dan orang-orang dlalim
f) Sikap fusuq dan orang-orang fasiq.
Selengkapnya...