(H.R. Ibnu Majah Ad-daraquthni)
Apapun bentuknya perbuatan yang dapat menjurus pada tindakan perusakan termasuk kategori dhalim dan dilarang keras oleh agama. Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin sangat tegas melarang umatnya untuk berbuat kerusakan, baik terhadap diri sendiri (badan), orang lain/masyarakat sekitar, serta lingkungan hidup. Menurut ketentuan ajaran syariat Islam, kita diwajibkan untuk menjaga keseimbangan kehidupan demi kelestarian di masa depan. Perintah ini dapat kita rujuk pada firman Allah dalam Surat Al-Qashash ayat 77; ... “dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan“.
Narkoba atau narkotika (Yunani: Narkoum) –yang berarti pembuat lumpuh atau perbuatan mati rasa-- tidak hanya membinasakan badan dan jiwa si pemakai, tetapi juga bisa merusak lingkungan sekitarnya; keluarga maupun masyarakat secara luas. Bahkan narkoba telah menjadi ancaman serius terhadap ketahanan sebuah komunitas masyarakat di samping kelangsungan hidup sebuah bangsa. Betapa tidak mengerikan akibatnya, terdapat sekitar 1,5 persen dari populasi penduduk Indonesia merupakan pemakai narkoba atau sekitar 3,2 sampai 3,6 juta orang. Sebanyak 15 ribu orang harus meregang nyawa setiap tahun akibat mengkonsumsi barang laknat ini, 78 persen diantaranya adalah anak-anak usia 19-21 tahun. Dan gara-gara narkoba pula, negara harus mengeluarkan dana cukup besar, yaitu Rp. 23,6 trilliun sebagai biaya ekonomi dan sosial akibat penyalahgunaan narkoba.
Ancaman serius ini ditandai oleh semakin meningkatnya kasus pecandu (junkis) dan para pengedar narkoba yang sudah diproses secara hukum. Dalam mana faktanya menunjukkan angka yang terus meningkat. Malahan belakangan ini Indonesia tidak hanya dikenal sebagai pasar raya konsumen narkoba, bahkan telah meningkat sebagai negara produsen benda adiktif yang mencelakakan masa depan generasi bangsa itu, --setelah beberapa kasus berhasil dibongkar oleh aparat kepolisian terhadap pabrik narkoba di Jakarta, Batam, Surabaya dan di tempat-tempat lain.
Lebih dari itu, narkoba tidak hanya merusak aspek fisik dan psikis para penguna, tetapi juga menjadi perantara penyakit menular berbahaya seperti HIV/AIDS yang di negeri ini dari tahun ke tahun penderitanya cenderung meningkat. Menurut data yang dilansir harian Duta Masyarakat (19/12/2007) di Indonesia pada tahun 2006 terdapat 14.628 penderita, dan di tahun 2007 meningkat menjadi 15.400 orang (terdiri 5.813 penderita HIV dan 9.587 penderita AIDS). Adapun dari aspek ekonomi pengaruh narkoba bisa berakibat pada penurunan produktivitas kerja. Sedangkan dari aspek sosial-kemasyarakat dapat menggangu jalannya tertib sosial dan keselarasan di masyarakat.
Secara ilmiah, terbukti ada korelasi positif antara faktor agama dan gerakan menghadang penyebaran bahaya narkoba. Masyarakat yang masih kental dengan pengamalan nilai-nilai relegius lebih bisa menghindar dari bahaya narkoba dibandingkan dengan masyarakat yang kering dari nilai-nilai agama. Pun demikian, faktor agama dalam proses penyembuhan terhadap pengguna narkoba juga dinilai memiliki korelasi positif dan signifikan.
Berdasarkan data psikiater Prof Dr. Dadang Hawari, metode rehabilitasi kasus narkoba yang memasukkan konsep agama memiliki tingkat kegagalan sekitar 12 persen. Sementara, tingkat keberhasilan rehabilitasi kasus narkoba tanpa konsep agama mencapai kisaran 43 persen. Sebagai tindakan prefentif pendidikan nilai-nilai agama sejak usia dini jauh lebih efektif untuk mencegah mewabahnya bahaya narkoba. Maka dari itu, tidak disangsikan lagi betapa pentingnya pendidikan agama atau dakwah Islam durasi serta intensitasnya perlu terus di tingkatkan dalam penyelenggaraannya terutama di tiga ranah pendidikan.
Pertama, pendidikan agama di lingkungan keluarga. Keluarga merupakan lingkungan awal bagi seorang anak memperoleh hak dasar akan pendidikan. Di lingkungan sosial terkecil ini transformasi nilai-nilai agama (Islam) sangat dibutuhkan anak dalam proses pembentukan mentalitas anak di masa depan. Dalam kondisi seperti ini orang tua berperan penting sebagai pendidik dalam mengajar, membina, membimbing dan membentuk tingkah laku kepribadian. Orang tua merupakan sentral figur dan sosok panutan yang layak dicontoh dan ditiru. Proses pendidikan agama sejak usia dini di lingkungan keluarga sangat berpengaruh dalam perkembangan kejiwaan dan kepribadiaan. Sehingga anak akan tumbuh menjadi sosok pribadi yang taat kepada orang tua dan Tuhannya.
Kedua, pendidikan agama di lingkungan sekolah/madrasah. Sekolah sebagai lingkungan belajar kedua setelah anak memperoleh transformasi nilai-nilai dan penetahuan termasuk ajaran agama pasca menempuh proses pembelajaran dari orang tua di rumah. Seorang anak usia sekolah rata-rata mendapatkan alokasi waktu pendidikan di sekolah rata-rata 6 jam setiap hari. Selain mendapatkan pengetahuan dan sain, seorang anak juga banyak belajar pengalaman dan tingkah laku dengan orang lain, yaitu kepada para bapak ibu guru dan teman-teman se-almamaternya. Maka, di sini sekolah mempunyai peran yang sangat besar dalam membentuk perkembangan jiwa dan kepribadian anak didik.
Ketiga, pendidikan agama di lingkungan masyarakat. Masyarakat merupakan lingkungan sosial terluas dalam pengembangan karakter dan pengetahuan anak dibandingkan kedua lingkungan di atas. Pengaruh pergaulan di masyarakat juga memiliki implikasi yang sangat besar terhadap tingkah laku seseorang. Oleh karena itu, seseorang sangat dianjurkan untuk memilih teman bergaul/bermail. Ketika mereka salah memilih teman bergaul ada kemungkinan besar ujung-ujungnya akan mengantarkan yang bersangkutan terjerumus ke dalam lembah kenistaan.
Untuk mencegah bahaya demoralisasi tersebut maka seyogyanya anak diarahkan untuk memasuki lingkungan sosial yang lebih mendidik ke arah keluhuran budi pekerti (akhlaq al-karimah). Misalnya anak di arahkan untuk aktif mengikuti kegiatan keagamaan di masjid atau di musholla/surau. Kegiatan sosial keagamaan ini sungguh sangat bermanfaat dan dapat menghindarkan anak untuk ikut-ikutan dalam pergaulan bebas yang menjerumuskan. Kegiatan yang bernuansa pendidikan keagamaan di masyarakat secara rutin dapat diikuti di majelsi-majelis taklim dan di pesantren. Kegiatan ini tentu saja akan dapat membendung pengaruh-pengaruh negatif yang diusung globalisasi, misalnya pornografi, kekerasan dan narkoba dapat dicegah secara prefentif.
Berdasarkan fakta-fakta dan argumen di atas, maka peran serta da’i dan da’iyah atau ustadz/kiai di lingkungan majelis taklim dan pesantren dalam rangka memerangi peredaran narkoba di Tanah Air menjadi urgen. Mengingat peran strategis mereka sebagai sentral figur sekaligus menjadi panutan di lingkungan sekitar. Dari merekalah sebenarnya pitutur dakwah (hikmah agama) yang mencerahkan jiwa bermuara. Untuk dipahami dan dipraktekkan oleh para pengikut/jama’ahnya. Dan, melalui piwulang nilai-nilai keislaman yang luhur ini diharapkan mereka dapat berkontribusi secara aktif membendung arus penyebaran bahaya narkoba di tengah-tengah kehidupan masyarakat dalam lingkup problematika modernitas yang semakin kompleks ini. Wallahu a’lam bi al-shawab