Selasa, 20 Januari 2009

"MADZHAB" NU : Ahlussunnah Waljama'ah


Oleh : Nuruzzaman Amin

"Madzhab" : Sebuah Pengantar Argumentatif

Dalam diskursus fiqh, kata madzhab menjadi terkesan biasa karena sudah begitu akrab di telinga kita. Namun, setelah disandingkan dengan kata Nahdlatul Ulama, istilah madzhab menjadi sedikit genit. Menariknya, Nahdlatul Ulama adalah sebuah tradisi yang kental dengan nuansa kultur pesantren yang senantiasa bergelut, serta memilki romantika tersendiri terhadap kajian kitab kuning yang identik dengan kitab hukum (fiqh) yang mengajarkan berbagai masalah fiqh, dalam madzhab-madzhab tertentu.

Madzhab diartikan sebagai paham atau aliran hasil pemikiran seorang mujtahid tentang hukum-hukum Islam melalui ijtihad atas dasar Al-Qur'an dan Hadis. Dalam pengertian lain, madzhab dimengerti sebagai :
a) Manhaj (metoda) yang dipergunakan oleh seorang mujtahid salam menggali ajaran/hukum Islam dari Al-Qur'an dan Hadis.
b) Aqwal (ajaran/hukum) hasil istimbath yang dikeluarkan oleh seorang mujtahid dengan menggunakan manhaj tersebut.
Dalam The Concise Enciclopedio of Islam, kata madzhab diartikan secara liar sebagai sistem berfikir (a System of Thought). Dengan demikian, kata madzhab yang ditafsirkan secara "liar" mempunyai pengertian yang lebih simple sekaligus luas.
Dengan demikian, istilah "madzhab" yang disandingkan dengan Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi yang memilki basis massa yang diklaim tradisionalis, memiliki urgensitas tersendiri, yakni –setidaknya- untuk melegitimasi arus pemikiran yang senantiasa dikembangkan oleh para pemikir Nahdlatul Ulama.

Madzhab dan Bermadzhab dalam Nahdlatul Ulama

Masalah bermadzahab baik bagi para pengasuh pesantren dan para ulama Nahdlatul Ulama lain khususnya, dan bagi para nahdliyyin pada umumnya, menduduki posisi sentral. Hal ini tidak terlepas dari peran Nahdlatul Ulama yang diposisikan sebagai sebuah harokah untuk melestarikan prinsip-prinsip ini.
Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa untuk menjadi anggota Nahdlatul Ulama, menganut salah satu madzhab merupakan sebuah syarat mutlak yang tak terbantahkan. Kaum nahdliyin sepenuhnya sadar bahwa Al-Qur'an dan Hadis sebagai pedoman dasar dalam Islam perlu ditafsirkan dan diimplementasikan secara praktis dalam kehidupan, yang kesemuanya diadopsi dari fatwa dan pendapat dari imam madzhab.
Secara sangat tegas dinyatakan bahwa sistem bermadzhab adalah mekanisme terbaik untuk memahami dan mengamalkan ajaran/hukum Islam, yang berasal dari Al-Qur'an dan sunnah.

Setidaknya ada dua alasan mengapa Nahdlatul Ulama berpedoman pada madzhab-madzhab adalah :
1) Al-Qur'an sebagai sumber utama hukum Islam bersifat universal sehingga penafsiran yang absah adalah tafsir yang datang dari Nabi, sebagai manusia yang diklaim sepi dari nafsu buruk manusiawi. Dengan demikian, hanya Nabi, manusia yang tahu persis isi dan kandungan Al-Qur'an. Sunnah Nabi di sini berfungsi sebagai penjelas Al-Qur'an.
2) Sunnah Nabi yang berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya hanya diketahui oleh para sahabat yang hidup semasa dengannya. Oleh karena itu, perlu untuk memeriksa, menyelidiki, dan selanjutnya berpedoman kepada keterangan para sahabat tersebut. Namun sebagian ulama tidak memperbolehkan mengikuti sahabat begitu saja. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kepastian dan kemantapan, maka jalan yang ditempuh adalah merujuk kepada para ulama mujtahidin yang tidak lain adalah imam madzhab yang empat.

Paham Ahlussunnah Waljama'ah

 Pengertian dan Kerangka Historis

Secara etimologis, ahlussunnah berarti penganut sunnah. Istilah ahlussunnah waljama'ah merupakan terma yang pernah disebut oleh Rasulullah sendiri ketika beliau disuguhi pertanyaan tentang apa itu assunnah waljama'ah, seraya mengatakan : "maa ana 'alaihil yauma wa ash-habi" (apa yang aku berada di atasnya sekarang bersama para sahabatku). Para pengikut assunnah waljama'ah inilah yang disebut sebagai "Ahlussunnah Waljama'ah", yang dinyatakan sebagai kelompok kaum muslimin yang akan selamat "masuk surga".

Ahlussunnah waljama'ah sesudah zaman rasulullah ialah para pengikut assunnah waljama'ah. Mereka selalu memegang ajaran assunnah waljamaah (ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah, dilaksaanakan para sahabatnya), selalu berusaha mendapat pemahaman, penghayatan dan pengamalan seperti itu. Bagi kaum ahlussunnah waljamaah, yang paling utama adalah didapatnya pemahaman, penghayatan dan pengamalan (termasuk pandapat dan pendirian) yang kadar ketepatannya tinggi, diukur dengan pemahaman, penghayatan dan pengamalan pada zaman Rasulullah.

Sebelum abad ke III Hijriyah, i'tiqod Nabi dan para sahabatnya telah termaktub dalam Al-Qur'an dan Hadis Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun dengan rapi. Baru setelah Imam Abu Hasan al-Asy'ari, seorang ahli ushul fiqh kelahiran Basrah 260 H dan wafat pada tahun 324 Hijriyah, mengumpulkan dan merumuskan secara teratur, ajaran ahlussunnah waljama'ah menjadi sebuah fenomena baru yang menentang aliran Mu'tazilah yang bersimaharajalela, pada saat itu. Oleh karena itu, kaum yang setia dengan ajaran ahlussunnah waljama'ah biasa dikenal dengan kaum Asya'irah jama' dari Asy'ari. Dalam kitab-kitab ushuluddin, juga dijumpai terma "Sunny" kependekan dari ahlussunnah waljama'ah, orang-orangnya disebut "Sunniyun".

Akar historis lahirnya kaum ahlussunnah waljama'ah tidak terlepas dari lahirnya firqah-firqah dalam perkembangan konstelasi politik yang berujung kepada penegasan tiap firqah dalam memahami ajaran Islam. Muara dari sekian perseteruan elit inilah yang kemudian memunculkan berbagai aliran dalam tubuh ummat Islam. Setiap firqah memiliki sebuah prinsip dasar baik dalam wilayah fiqh, tasawuf maupun politik.
Karakteristik tiap golongan dianggap penganutnya sebagai orisinalitas pendapat imam firqah. Akibatnya, setiap firqah mengklaim bahwa pendapat dan pemahaman golongannya adalah yang paling sahih. Dalam suasana yang demikian inilah kelompok ahlussunnah waljama'ah mencoba memberikan penawaran yang adil bagi ummat, yakni tawasuth (keseimbangan, posisi tengah-tengah diantara golongan-golongan yang ada)
Di Indonesia, pengertian ahlussunnah waljamaah sebagaimana tercermin dalam tubuh Nahdlatul Ulama, merupakan penegasan kaum tradisionalis menanggapi gerakan pembaruan, seraya berpendapat bahwa memahami Islam tidak cukup hanya berlandaskan Al-Qur'an dan Hadis tetapi harus melalui jenjang tertentu, yaitu ulama madzhab, Hadis (sunnah) dan akhirnya pada sumber utama Al-Qur'an itu sendiri. Inilah kemudian mengapa dalam tradisi Nahdlatul Ulama, istilah ahlussunnah waljamaah dimengerti sebagai golongan yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad dan Ijma' ulama.

 Ajaran Ahlussunnah Waljama'ah Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah jam’iyyah diniyah yang lahir sebagai salah satu ciri/indikasi bagi masyarakat modern di indonesia. Sebab dengan lahirnya organisasi-organisasi keagamaan menandakan adanya kemajuan pola berfikir dan pola kehidupan dalam masyarakat dan bangsa. Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah diniyah Islamiyah yang bertujuan membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah senantiasa berpegang teguh kepada kaidah-kaidah kegamaan (Islam) dan kaidah-kaidah kenegaraan dalam merumuskan pendapat, sikap dan langkah-langkahnya.
Oleh karena itu, penting untuk diungkap mengenai alam pikiran (paham) Nahdlatul Ulama, baik dalam bidang kegamaan, kemasyarakatan maupun pola pikir yang menajdi pedoman dan landasan dalam segala gerak dan langkahnya.

1. Dalam Bidang Kegamaan

Dalam bidang keagamaan, Nahdlatul Ulama memilki paham yang dapat diringkas ke dalam tiga kelompok, yaitu :
1) Dalam bidang aqidah
2) Dalam bidang fiqh
3) Dalam bidang tasawuf

Dalam bidang aqidah, Nahdlatul Ulama menganut faham yang berdasar pada aliran ahlussunnah waljama’ah. Faham ini menjadi landasan utama bagi Nahdlatul Ulama dalam menentukan segala langkah dan kebijakannya, sebagai organisasi keagamaan murni, maupun sebagai partai politik. Hal ini ditegaskan dalam AD/ART Nahdlatul Ulama.
Faham ahlussunnah waljama’ah yang dianut oleh Nahdlatul Ulama adalah faham yang dipelopori oleh Abul Hasan al-Asy’ary dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Keduanya dikenal mempunyai keahlian dan keteguhan dalam mempertahankan i’tiqad (keimanan) ahlussunnah waljama’ah seperti yang diisyaratkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Jadi dalam melaksanakan ajaran Islam, bila dikaitkan dengan masalah aqidah harus memilih salah satu diantara dua yaitu al asy’ary atau al maturidi.

Dalam bidang fiqh, secara tegas, Nahdlatul Ulama berpegang teguh kepada imam madzhab empat yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Dengan demikian, Nahdlatul Ulama yang berfaham ahlussunnah waljama’ah memegang teguh produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu madzhab empat tersebut. Artinya bahwa dalam rangka mengamalkan ajaran agama Islam Nahdlatul Ulama menganut dan mengikuti produk hukum Islam dari salah satu madzhab empat sebagai konsekwensi dari menganut faham ahlussunnah waljama’ah. Walaupun demikian tidak berarti Nahdlatul Ulama tidak lagi menganut ajaran rasulullah, sebab keempat madzhab tersebut berlandaskan Al-Qur'an dan sunnah disamping ijma’ dan qiyas sebagai sumber pokok Hukum Islam.

Dalam lapangan tasawuf, Nahdlatul Ulama mengikuti aliran tasawuf yang dipelopori oleh imam al junaid al baghdadi dan imam al ghazali. Imam junaid al baghdadi adalah salah satu ulama sufi terkenal yang wafat pada tahun 910 M di irak, sedang al ghazali adalah ulama besar yang berasal dari persia.

2. Dalam Bidang Kemasyarakatan

Sikap Nahdlatul Ulama dalam bidang kemasyarakatan diilhami dan didasari oleh sikap dan faham keagamaan Nahdlatul Ulama. Sikap kemasyarakatan Nahdlatul Ulama bercirikan pada sikap : tawasuth dan i’tidal, tasamuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi munkar. Sikap ini harus senantiasa dimiliki baik oleh aktifis Nahdlatul Ulama maupun segenap warga dalam berorganisai dan bermasyarakat.

Sikap tawasuth dan i’tidal
Tawasuth, secara etimologis berarti tengah, sedang i’tidal artinya tegak. Sikap tawasuth dan i’tidal maksudnya adalah sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Dengan sikap dasar ini Nahdlatul Ulama akan selalu menjadi kelompok toladan yang bersikap membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrem).

Sikap tasamuh
Yang dimaksud dengan sikap ini adalah bahwa Nahdlatul Ulama bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah maupun dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan. Muara sikap tasamuh ini adalah terciptanya kesepahaman antar golongan untuk saling memiliki semangat kebersamaan untuk menerima perbedaan diantara golongan yang plural.

Sikap tawazun
Yakni dikap seimbang dalam berkhidmad. Menyesuaikan khidmad kepada Allah swt, khidmad kepada sesama manusia, serta kepada lingkungannya. Menyerasikan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Amar ma’ruf nahi munkar
Segenap warga Nahdlatul Ulama diharapkan mempunyai kepekaan untuk mendorong berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta mencegah semuahal yang menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Dengan adanya keempat aspek tersebut diharapkan kehidupan umat Islam (khususnya warga Nahdlatul Ulama) akan terpeliharasecara baik dan terjalin secara harmonis baik dalam lingkungan organisasi maupun dalam masyarakat. Demikian pula perilaku warga Nahdlatul Ulama senantiasa terbentuk atas dasar faham keagamaan dan sikap kemasyarakatan, sebagai sarana mencapai cita-cita dan tujuan baik tujuan keagamaan maupun tujuan kemasyarakatan.

 Dasar Hukum dalam Paham Ahlussunnah Waljama’ah

Dasar-dasar yang dapat dipegangi dalam menentukan hukum adalah sebagaimana telah diamanatkan oleh imam madzhab empat sebagai berikut :
1. Al-Qur'an. Dasar yang diambil dalam Al-Qur'an merupakan dalil terkuat untuk menentukan hukum Islam.
2. Hadis Nabi, yaitu meliputi sabda Nabi, perbuatan dan ketetapan Nabi. Kekuatan Hadis berada di bawah Al-Qur'an. Oleh karena itu, dalil dari Hadis hanya bisa dipergunakan setelah tidak ditemukan dalil dalam Al-Qur'an.
3. Ijma’, yaitu kesepakatan para mujtahidmengenai suatu hukum. Ijma’ baru bisa digunakan sebagai dalil terhadap sesuatu perkara, setelah ternyata tidak ditemukan dalilnya dalam Al-Qur'an dan Hadis.

Ijma’ ada beberapa macam, yaitu :
1) Ijma’ qath’iy atau ijma’ bayaniy atau ijma’ qauly, yaitu ijma’ yang dilakukan dengan perkataan atau tulisan.
2) Ijma’ dhanny atau ijma’ sukuty, yaitu ijma’ yang diproses dengan cara diam diri.
3) Ijma’ shahabiy atau ijma’ shahabat, yaitu ijma’ yang terjadi di antara mujtahid shahabat Nabi.
4) Ijma’usy syaikhon, yaitu ijma’ yang terjadi antara abu bakar dan usman.
4. Qiyas, yaitu menyamakan hukum suatu masalah yang belum diketahui hukumnya dengan amsalah lain yang sudah diketahui hukumnya, karena diantara keduanya terdapat kesamaan Allah yang menajdi dasar penentuan hukum.

Selain empat sumber hukum Islam tersebut di atas, Nahdlatul Ulama dalam menetapkan hukum juga mengacu kepada lima pokok tujuan syari'ah, yang dikemukakan oleh imam syathibi. Konsep dari imam syatibi ini dikenal dengan maqashid al syari'ah yang berarti maksud atau tujuan disyari'atkan hukum Islam yaitu terpeliharanya hikmah dalam menetapkan suatu hukum. Konsep ini mengandung lima pokok kemaslahatan yang harus terdapat dalam setiap produk hukum Islam. Kelima pokok itu adalah terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.

Ciri lain yang tidak bisa dipisahkan dari pola pikir Nahdlatul Ulama adalah digunakannya kaidah-kaidah (qawa'idul fiqhiyah) yang diantaraanya adalah lima pokok qaidah fiqhiyah,seperti diungkap dalam al asybah wa al nadhair , yaitu :
1. الامور بمقاصدها (setiap urusan tergantung tujuannya)
2. اليقين لايزال بالشك (keyakinan itu tidak bisa dihilangkan karena keraguannya)
3. الضرريزال (bahaya harus dilenyapkan)
4. المشقة تجلب التيسير (kesulitan itu dapat memberikan kemudahan)
5. العادة محكمة (adat kebiasaaan dapat dikukuhkan sebagai hukum)

Dari kelima kaidah pokok ini, sebagai derivasinya, muncul berbagai kaidah lain yang kesemuanya memiliki korelasi dengan salah satu lima kaidah pokok di atas. Kaidah-kaidah ini memiliki peran signifikan dalam merumuskan berbagai kebijakan hukum Nahdlatul Ulama, dari dimensi privat maupun dimensi publiknya. Kaidah-kaidah fiqhiyah inipun memiliki posisi sentral dalam menentukan arah kebijakan dalam wilayah politik, tepatnya menetukan ijtihad politik Nahdlatul Ulama.

Dalam berbagai masalah yang dihadapi Nahdlatul Ulama memiliki sebuah forum kajian yang membahas produk fiqh (Hukum Islam) yang dikenal dengan naam "Bahtsul Masail Diniyah" ( pembahasan masalah-masalah keagamaan). Jadi dalam forum ini berbagai masalah keagamaan digodok dan diputuskan hukumnya, yang selanjutnya keputusanm tersebut menajdi pedoman warga nahdliyin. Dalam forum-forum inilah qawa'idul fiqhuyah menemukan urgensitasnya.

Yang terakhir, mungkin ini yang membedakan pola pikir Nahdlatul Ulama dengan yang lain, yaitu bahwa dalam mengikuti pendapat mengenai masalah agama, maka yang dinilai bukan hanya pendapatnya melainkan juga orangnya, yaitu bagaimana akhlak dan kepribadiannya. Oleh sebab itu keputudan-keputudan ijtihad politik Nahdlatul Ulama yang dijadikan referensi selalu kitab-kitab yang muktabarah yang ditulis oleh -meminjam bahasa mereka- shalafus shaleh. Hal ini karena Nahdlatul Ulama mengikuti sabda Nabi Saw : "fandzuru 'an man ta'khudzunahu" (perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya).

Hal ini dapat dilihat betapa pesantren menekankan silsilah intelektual, artinya bahwa seorang kiai untuk meyakinkan kebsahan ilmunya dan murid dari seorang ulama terkenal, tidak cukup seorang itu alim dalam ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga harus jelas dari siapa ilmu tersebut diperoleh. Misalnya K.H. Munawir yang terkenal sebagi ahli tajwid Al-Qur'an pada abad ke-20, beliau memperoleh ilmu tersebut dari Abdul Karim Bin Umar yang mata rantai sanadnya sampai pada Rasulullah Saw.

Pandangan Hidup Menurut Ahlussunnah Waljama'ah

Setiap harokah keagamaan memiliki sebuah pedoman hidup yang dipandang sebagai cermin bertidak dan bergaul dengan sesama. Pandangan hidup ini merupakan prinsip-prinsip dasar untuk menentukan sikap dalam pergaulan hidup di tengah pluralisme pandangan hidup yang lain. Nahdlatul Ulama sebagai harokah keagamaan memiliki pandangan hidup yang berpangkal pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Pedoman Hidup adalah Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, yang difahami menurut tuntunan yang digariskan oleh para imam madzhab empat.
2. Teladan Hidup adalah Rasulullah, sahabat Nabi dan para ulama.
3. Tugas Hidup adalah untuk beribadah dalam arti seluas-luasnya. Ibadah di sini mencakup dua pengertian, yakni :
1) Ibadah Mahdlah (ibadah vertikal), yaitu ibadah yang merupakan hubungan langsung dengan Allah. Misal : shalat, puasa, dzikir, haji, dan lain sebagainya.
2) Ibadah Muamalah (ibadah horizontal), yaitu ibadah-ibadah yang merupakan hubungan antara sesama manusia. Misal : menolong orang, membangun kemaslahatan ummat, dan lain sebagainya.
4. Tujuan Hidup adalah untuk mendapatkan mardlatillah (keridlaan Allah)
5. Kawan Hidup adalah seluruh kaum mu'minin
6. Pelindung dan Penolong dalam Hidup adalah Allah Subhanahu Wa ta'ala
7. Lawan Hidup adalah :
a) Syetan, terdiri dari jenis jin dan jenis manusia
b) Sikap kufur dan orang-orang kafir
c) Sikap syirik dan orang-orang musyrik
d) Sikap nifaq dan orang-orang munafiq
e) Sikap dlalim dan orang-orang dlalim
f) Sikap fusuq dan orang-orang fasiq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar