Rabu, 04 Maret 2009

Meningkatkan Peran Ibu


Dalam Agama Islam dikenal patokan bahwa sejauh menyangkut ibadah, semuanya dilarang kecuali yang diperintahkan. Sejauh menyangkut muamalah semuanya boleh kecuali yang dilarang. Salah satu pesan penting dari patokan itu ialah untuk membentuk keluarga sejahtera, kepekaan susila dan ketangguhan moral saja belum cukup. Karena itu perlu membangun kepekaan sosial dan intelektual. Tujuan dari pendekatan komprehensif tersebut ialah selain etik dan moral anggota keluarga kita kokoh, mereka pun dapat memilih dan menawarkan pilihan-pilihan cerdas untuk kemajuan bersama. Untuk itu kaum IBU dituntut agar mereka semakin cerdas. Bagaimana Peran IBU dalam pembentukan keluarga sejahtera di Indonesia?

Sejak tiga dasa warsa terakhir peran IBU dalam kehidupan keluarga mengalami kemajuan pesat. Dorongan utamanya adalah tuntutan ekonomi. Keluarga tidak bisa lagi mengandalkan para bapak untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara memadai. Untuk itu, para IBU terpanggil untuk berperan, mengambil alih peran bapak yang tak mampu mencukupi.

Sementara, posisi IBU dalam rumah tangga juga mengalami perubahan, bahkan dengan cara drastis dan radikal. Wewenang dan wibawa para ibu menanjak dalam keluarga. Mereka turut memutuskan apa saja yang selama ini dipegang kaum bapak. Disamping itu, pergeseran dalam kemampuan intelektual, khususnya tingkat pendidikan kaum perempuan merupakan salah satu kunci perkembangan sekaligus masalah baru dalam keluarga. Emansipasi dalam kehidupan sosial juga turut menentukan hubungan harmonisasi antara bapak dan ibu serta anak-anak di rumah.

Dengan demikian, keluarga harus “dimanage” dengan cara yang lebih demokratis, bukan otoriter. Karena alasan atau reasoning tidak lagi dimonopoli oleh para bapak. Semua anggota keluarga mempunyai referensi yang hampir sama secara intelektual. Pemecahan masalah dalam rumah tangga, konkurensi wibawa, aset sosial ekonomi, seksual dan intelektual semacamnya tidak lagi bisa dipecahkan dengan cara- cara di masa lalu.
Peran dan tanggung jawab.

Peran dan tanggung jawab IBU dalam membentuk keluarga sejahtera, sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari peran dan tanggung jawab kaum bapak. Tidak dapat dikatakan yang satu dominan dan lebih menentukan, sedang yang lain sekedar pelengkap. Keduanya saling melengkapi dan saling mendukung. Para IBU dan para BAPAK, katakanlah ibu dan ayah adalah team work dalam membentuk Keluarga Sejahtera.

Membentuk Keluarga Sejahtera pada dasarnya adalah menggerakkan proses dan fungsi manajemen dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, selain tugas-tugas kodrati (mengandung dan menyusui) segala sesuatu yang berhubungan dengan membentuk Keluarga Sejahtera haruslah elastis, terbuka dan demokratis. Ibu dan ayah bisa saja bersepakat, misalnya menentukan siapa yang mengerjakan apa, hal-hal yang diputuskan sendiri dan lebih baik diputuskan bersama. Dalam manajemen hal demikian disebut membangun “shared values”. Segala sesuatu ditempatkan pada proporsi yang tepat. Tugas pokok bisa berbeda, tetapi tujuan dan acuan nilainya sama.

Tingkat pendidikan.

Tingkat pendidikan kaum IBU relatif bertambah tinggi. Hal tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi terbukanya peluang dan kesempatan untuk tampil ke depan, melepaskan diri dari kasus-kasus perlakuan diskriminasi seperti pelecehan hak, isu gender dan sebagainya. Kondisi umum tersebut dimungkinkan oleh beberapa faktor dominan. Kesemuanya langsung atau tidak langsung memberi dampak kuantitatif bagi peran ibu dalam meningkatkan tahapan Keluarga Sejahtera. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah:

Pertama, semakin menyebarnya kegiatan pendidikan, serta relatif telah bertambah tingginya pendidikan rata-rata penduduk. Memang tidak selalu semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin berhasil pula dalam membangun Keluarga Sejahtera. Artinya Keluarga Sejahtera berkualitas tidak identik atau ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat pendidikan. Tetapi dapat dikatakan IBU yang terdidik pastilah memiliki kelebihan adaptif tertentu. Kesempatan dan pendidikan masyarakat sudah semakin luas. Persepsi masyarakat tentang potensi kaum IBU-pun relatif telah terbuka. Apalagi sejak munculnya berbagai sekolah kejuruan maupun pelatihan khusus yang sengaja dirancang sebagai wahana aktualisasi potensi intelektual dan potensi kreatif kaum IBU. Selain itu pendidikan dan pelatihan-pelatihan khusus juga mempercepat proses keterbukaan dan dinamisasi nilai-nilai kultural masyarakat. Termasuk yang secara historis telah melekat dalam persepsi kaum IBU sendiri. Sebagai suatu proses budaya, pendidikan dan pelatihan khusus tersebut justru amat diperlukan dalam kerangka pembangunan nasional dan peningkatan SDM Indonesia. Pemerintah kita berkepentingan mempercepat lahirnya tatanan masyarakat yang lebih egalitarian, demokratis, emansipatif dan partisipatif.

Kedua, perubahan persepsi dikotomis masyarakat kita tentang pekerjaan. Polarisasi atas dasar jenis kelamin (gender) di lingkungan pekerjaan dan profesi umumnya tidak populer. Tuntutan dan logika kemajuan zaman menyebabkan proses rekrutmen, promosi dan pengangkatan dalam profesi, sekarang ini lebih berorientasi pada kualitatif. Dalam pengertian bahwa pertimbangan terpenting ialah kapasitas, kesempatan dan kemampuan riil seseorang. Pekerjaan-pekerjaan di lingkungan pegawai negeri, di perusahaan, sektor swasta, umumnya dikelola dalam sistem jaringan kerja profesional, sehingga pendekatan obyektif dan rasional semakin mengemuka.

Ketiga, kemajuan teknologi termasuk faktor dominan bagi meluasnya peluang dan kesempatan kaum IBU. Tidak bisa dipungkiri kemajuan teknologi ke rumah tanggaan, teknologi perkantoran, telkom dan transformasi semakin memperlancar proses kehidupan sosial.

Sampai pada dekade 70-an, usia produktif wanita di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, umumnya habis dimanfaatkan untuk melahirkan dan mengasuh anak. Kini teknologi kontrasepsi, adanya Gerakan KB Nasional, ditambah kesadaran untuk lebih mementingkan kualitas hidup, pasangan usia subur (PUS) bisa mengatur jarak kehamilan. Kehamilan dapat dideteksi, jabang bayi dalam kandungan dapat dijaga serta proses melahirkan lebih nyaman dan aman.

Kemajuan dan inovasi teknologi, kini berlangsung dalam tempo yang semakin tinggi. Hal ini mengilhami perubahan dan inovasi sosial. Masalahnya kemajuan dan inovasi tersebut kadang tidak mendukung terbentuknya keluarga sejahtera. Dan keluarga diharapkan mampu mengelola konsekuensi dari perubahan dan inovasi teknologi itu.

Ke-empat sebagai resultansi dari faktor di atas, ialah meluas dan melebarnya perbandingan masyarakat, khususnya kaum IBU. Termasuk ukuran-ukuran keberhasilan, kemajuan dan penghargaan. Ukuran masyarakat tentang status sosial, kini tidak lagi sekedar mengacu pada latar belakang asal usul. Siapapun yang mampu melahirkan kerja-kerja prestatif untuk kemaslahatan lingkungan masyarakatnya, dia-lah yang cenderung paling dihargai.
Kecerdasan dan Kepekaan.

Dalam kaitan peran dan tanggungjawab membentuk keluarga sejahtera, manajemen rumah tangga tidak boleh kaku dan tertutup. Kita harus elastis dan mau membuka diri dari kemungkinan masuknya pengaruh positif dari luar. Bahkan dari anak-anak kita, dari murid-murid kita atau tetangga kita. Kitapun perlu memfasilitasi anggota keluarga. Kepekaan kaum BAPAK pun perlu diperlihatkan melalui support, misalnya jika wanita atau isteri dalam suatu keluarga mampu, mau dan berbahagia bekerja di luar rumah, mestinya mereka mendapat dukungan.

Jika kondisi keluarga mengharuskan lebih banyak mengurus keperluan anak-anak, mengelola kebutuhan keluarga sesungguhnya itu adalah karir dan sikap wanita modern. Pilihan dan kesempatan tersebut patut disyukuri karena akan menempatkan posisi kaum IBU pada derajat yang tinggi.

Kita harus memahami apa yang paling dibutuhkan seluruh anggota keluarga. Bahkan kita harus mengerti potensi dan karakter anak-anak kita, agar proses sosialisasinya tidak salah kaprah. Kecerdasan dan kepekaan kaum IBU di sini bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi keharmonisan keluarga dan kemajuan masyarakat.

Kecerdasan dan kepekaan juga diperlukan untuk menjalankan dan mengefektifkan delapan fungsi keluarga yaitu:
1.Fungsi Keagamaan;
2. Fungsi Cinta kasih;
3.Fungsi Reproduksi;
4.Fungsi Perlindungan;
5 Fungsi Sosial Budaya;
6. Fungsi sosialisasi dan pdndidikan;
7 Fungsi ekonomi; dan
8. Fungsi Pelestarian Lingkungan.

Menjalankan dan mengefektifkan delapan fungsi keluarga akan memperjelas arah dan tujuan terbentuknya keluarga sejahtera yang berkualitas. Karena delapan fungsi keluarga merupakan esensi berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Semakin jelas bahwa peran IBU dalam membentuk keluarga sejahtera, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Peran dan tanggungjawab tersebut adalah bagian yang tidak terpisahkan dari peran dan tanggung jawab kaum bapak, keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Khusus untuk kaum IBU kiranya perlu perlakuan khusus dari kaum bapak, agar kaun IBU atau isteri selalu tampil energik, sehat, cerdas dan bergirah. Salah satunya adalah menerapkan konsep Keluarga (kecil) Bahagia Sejahtera, agar isteri banyak memiliki kesempatan untuk mengurus dan mengatur diri, keluarga, serta berperan aktif dalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar