Senin, 02 Maret 2009

Potret Suram Perempuan Indonesia

Bila kaum perempuan diberi dukungan dan kesempatan dalam mengejar ketertinggalannya, baik di sektor publik (ekonomi, hukum, ekonomi dan sosial) maupun di sektor domestik (keluarga), niscaya Indonesia menjadi terdepan.


Hidup di negeri berpenduduk kurang lebih 230 juta jiwa, dengan keindahan alam sekitar 17 ribu pulau, adalah sebuah kenikmatan. Seharusnya demikian. Namun tidak untuk sebagian besar perempuan Indonesia. Pasalnya, mereka masih hidup dalam kondisi memprihatinkan. Simak saja, saat ini sedikitnya 50 persen perempuan didera anemia, dan 18 persen kekurangan energi kalori. Kondisi buruk ini diperparah lagi oleh tingginya angka kematian ibu akibat hamil dan melahirkan. Kasusnya tertinggi di ASEAN. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan Angka Kematian Ibu hamil dan melahirkan “menakjubkan”, mencapai 340 per 100.000 kelahiran hidup saat ini.


Di sektor pendidikan, perempuan juga terpinggirkan. Menurut data statistik BPS 1999-2000, 54 persen perempuan Indonesia hanya lulusan SD ke bawah, 19 persen lulusan SLTP dan 27 persen lulusan SLTA, dari penduduk usia 10-44 tahun dan 45 ke atas. Angka buta huruf perempuan lebih tinggi dari laki-laki, yakni 3.816.681 perempuan dan 2.138.781 laki-laki. Sementara, angka partisipasi di SLTP: perempuan 87,07 persen, laki-laki 89 persen, dan SLTA: perempuan 61 persen, sedangkan laki-laki 68 persen.


Pada 2001, jumlah perempuan yang mengantongi ijazah SLTA dilaporkan hanya 4,13 persen sementara laki-laki sekitar 16 persen. Jumlah ini semakin mengerucut untuk perempuan yang lulus diploma (DII dan DIII) dengan perbandingan perempuan 1,42 persen, laki-laki 1,53 persen; sarjana (S1-S3) dengan perbandingan perempuan 1,40 persen dan laki-laki 2,27 persen. Selebihnya adalah perempuan yang hanya mengantongi ijazah SD, SLTP atau sama sekali tak memiliki ijazah, alias putus sekolah di tingkat sekolah dasar atau sama sekali tak bersekolah.


Di bidang ekonomi, perempuan selalu menjadi korban dari setiap perubahan ekonomi. Keterpurukan ekonomi telah membawa perempuan dalam perjuangan untuk terus menghidupi keluarga. Saat ini, angka partisipasi angkatan kerja perempuan hanya 51 persen, jauh di bawah laki-laki yang mencapai 86 persen. Sebagian besar perempuan bekerja di sektor informal, sesuatu yang kebalikannya dengan pria. Dalam pengupahan, pria menerima upah 100 persen, sementara perempuan hanya 60 persen.


Hasil Survey Sosial dan Ekonomi (Badan Pusat Statistik), hampir 50 persen perempuan di pedesaan bekerja sebagai pekerja keluarga yang tak dibayar. Angka dan fakta tersebut menunjukkan, bahwa perempuan hanya dimanfaatkan sebagai sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pasar demi kepentingan ekonomi negara, dan bukan untuk kepentingan perempuan.


Bukan Cuma itu. Dalam penanganan perdagangan perempuan, Indonesia justru mendapat stempel dunia internasional sebagai salah satu negara terburuk dalam menangani perdagangan perempuan. Betapa tidak, jumlah perempuan dan anak yang diperdagangkan diperkirakan mencapai 700 ribu hingga satu juta orang per tahun (Global Watch Against Child Labour, 2002).
Human Development Index--HDI Indonesia juga mencerminkan 'buruk muka' negeri ini. Betapa tidak, dari laporan United Nation Development Program (UNDP) tentang keberhasilan pembangunan manusia yang diukur dengan HDI (Index Pembangunan Manusia), Indonesia ternyata berada pada urutan terpuruk dari 175 negara yang disurvei, yakni ke 112 (pada 2002).


Sementara angka yang menunjukkan ketidaksetaraan pembangunan, kesehatan dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan, yakni Gender Related Development Index--GDI, memperingkat Indonesia pada urutan ke-112 dari hampir 200 negara pada 2001 dengan nilai 1.
Semua kondisi ini tentu saja mendudukan posisi perempuan Indonesia demikian memprihatinkan. Padahal di masa krisis, perempuan telah memberikan kontribusi besar melalui usaha kecil, menengah dan sektor informal. Walau kontribusinya besar, perhatian untuk mereka tetap saja terbatas. Alhasil, wajah perempuan Indonesia dewasa ini masih 'buram'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar